BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Proses
pengembangan mutu pada sebuah institusi pelayanan kesehatan (health care
provider) dapat dipahami melalui berbagai jenis produk dan jasa pelayanan yang
ditawarkan kepada masyarakat, segmen pasar atau konsumen produk tersebut, dan
harapan masyarakat pengguna jasa pelayanan terhadap kinerja pelayanan kesehatan
yang mereka terima.
Pelayanan
kesehatan yang ditawarkan oleh institusi kesehatan adalah jasa. Hasil akhir
(outcome) jasa pelayanan kesehatan adalah status kesehatan individu atau
kelompok masyarakat setelah mereka menggunakan jasa pelayanan kesehatan (health
care and health service). Produk kesehatan dapat dihubungkan dengan batasan
sehat menurut WHO atau Kemenkes RI (UU No 23 tahun 1992). Yang unik dalam konteks
pelayanan kesehatan adalah produk akhir yang dihasilkan oleh institusi pelayanan
kesehatan yaitu status kesehatan perorangan atau kelompok masyarakat. Produk
kesehatan ini dinilai oleh konsumen setelah mereka merasakan manfaatnya. Produk
ini juga bisa diukur secara statistic apabila dikaitkan dengan status kesehatan
masyarakat. Dimensi produk pelayanan kesehatan di masyarakat dikategorikan
dalam bentuk health (kesehatan individu atau kelompok masyarakat), disability
(jumlah ketidakmampuan dimasyarakat ), death (besarnya dan jenis penyebab
kematian), dan fertility (kesuburan). Ukuran yang digunakan untuk status
kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan (morbility rate), angka kematian
(mortality rate), angka ketidakmampuan (disability rate) dan angka fertilitas
(fertility rate). Ukuran morbiditas adalah prevalence rate (point and period
prevalence) incidence rate. Ukuran
mortality rate ada beberapa, antara lain angka kematian kasar (cerude
death rate) dan angka kematian berdasarkan penyebabnya (specific death rate).
Pengembangan
kegiatan program jaminan mutu disebuah institusi pelayanan kesehatan bertujuan
untuk menyediakan pelayanan kesehatan sebaik mungkin kepada pasien dan pengguna
jasa pelayanan kesehatan lainnya. Keduanya dikenal sebagai pelanggan. Pelanggan
institusi pelayanan kesehatan ada dua jenis yaitu pelayanan eksternal (pengguna
jasa pelayanan kesehatan atau pasien dan keluarganya) dan pelanggan internal
(karyawan dan pimpinan unit kerja pada institusi pelayanan kesehatan). Pasien
sebagai pelanggan eksternal harus selalu menjadi fokus perhatian pada setiap
proses pengembangan mutu pelayanan (program jaminan mutu atau quality
assurance). Keberadaan institusi pelayanan kesehatan dimasyarakat sangat
tergantung dari kedua kelompok pelanggan ini.
Pengembangan
program jaminan mutu akan berjalan efektif jika sistem nilai dan tujuan setiap
individu yang bekerja untuk institusi kesehatan (pelanggan internal) juga
terwujud dalam tugas mereka sehari-hari ketika mereka memberikan pelayanan
kesehatan kepada pihak pelanggan eksternal.
Program jaminan
mutu merupakan rangkaian kegiatan yang bersifat menyeluruh. Dimulai dari
kegiatan mengkaji mutu dan dilanjutkan dengan kegiatan perbaikan mutu. Semua
kegiatan tersebut harus terintegrasi kedalam kegiatan rutin fungsi manajemen
dan fungsi pelayanan institusi penyedia pelayanan kesehatan (Muninjaya, 2011).
Salah satu
bentuk penyelenggaraan upaya yang
dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan di Puskesmas. Menurut Muninjaya
(2004), Puskesmas merupakan unit teknis pelayanan Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pembangunan
kesehatan disuatu atau sebagian wilayah kecamatan yang mempunyai fungsi
pembangunan kesehatan masyarakat, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam rangka pencapaian keberhasilan fungsi
Puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan bidang kesehatan (Alamsyah, 2011).
Laporan tahunan Puskesmas Moncobalang
Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa pada tahun 2011 menunjukkan
penurunan, didapatkan rata-rata kunjungan puskesmas perbulan sebanyak 1196
(9,2%) orang pada bulan januari, 1261 (9,7%) orang pada bulan februari, 1135
(8,7%) orang pada bulan maret, 1110 (8,5%)
orang pada bulan April, 1008 (7,7%) orang pada bulan Mei, 1037 (7,9%)
orang pada bulan Juni, 1152 (8,8%) orang
pada bulan Juli, 769 (5,9%) orang pada bulan Agustus, 1044 (8,0%) orang
pada bulan September, 1233 (9,5%) orang
pada bulan Oktober, 1268 (9,7%) orang pada November, 1058 (8,1%) orang
pada bulan Desember.
Kurangnya kunjungan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di
Puskesmas disebabkan oleh ketidakmampuan petugas memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat, sehingga masyarakat lebih banyak memanfaatkan
tempat pelayanan kesehatan yang lain (Azwar, 2010).
Berdasarkan hasil observasi di Puskesmas Moncobalang, konsumen atau pasien
mengartikan pelayanan tersebut berkualitas jika pelayanan nyaman, menyenangkan,
petugas kesehatan yang ramah, dalam artian pelayanan tersebut memberikan kesan
kepuasan bagi pasien sedangkan pemberi pelayanan (provider) mengartikan
pelayanan berkualitas jika pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang telah
ditetapkan. Adanya perbedaaan persepsi tersebut sering mengakibatkan keluhan
terhadap pelayanan.
Undang-Undang
nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak berlaku, seiring dengan
meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang bermutu khususnya
pelayanan pemerintah, maka pemerintah daerah kabupaten harus berupaya
meningkatkan pelayanannya di segala bidang. Di bidang kesehatan tuntutan serupa
juga menjadi isu utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di era mendatang.
Pelayanan kesehatan yang belum sesuai dengan harapan pasien, maka diharapkan
menjadi suatu masukan bagi organisasi layanan kesehatan agar berupaya
memenuhinya. Jika kinerja layanan kesehatan yang diperoleh pasien pada suatu
fasilitas layanan kesehatan sesuai dengan harapannya, pasien pasti akan selalu
datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Pasien akan selalu
mencari pelayanan kesehatan di fasilitas yang kinerja pelayanan kesehatannya
dapat memenuhi harapan atau tidak mengecewakan pasien (Hertiana, 2009).
Pengukuran
tingkat kepuasan pasien mutlak diperlukan, dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Melalui pengukuran tersebut, maka dapat diketahui
sejauh mana dimensi-dimensi mutu
pelayanan kesehatan yang telah diselenggarakan dapat memenuhi harapan pasien
(Hertiana, 2009).
Hasil penelitian
Lestari (2002), menyatakan bahwa ada pengaruh antara kualitas pelayanan
kesehatan (aspek kompetensi teknik, akses terhadap pelayanan, dan efektivitas
pelayanan) terhadap kepuasan pasien. Kemudian penelitian Mastur (2006),
menyatakan ada pengaruh faktor mutu pelayanan (aspek kompetensi teknis, akses
pelayanan, efektivitas, efesiensi, hubungan antar manusia, keamanan, kenyamanan
dan kesinambungan) terhadap kepuasan pasien. Keberhasilan yang diperoleh suatu
layanan kesehatan dalam meningkatkan mutu pelayanannya sangat berhubungan erat
dengan kepuasan pasien. Oleh sebab itu, manajemen suatu pelayanan kesehatan
perlu menganalisis sejauh mana mutu pelayanan yang diberikan. Seiring dengan
banyaknya pelayanan kesehatan yang telah berdiri dan memberikan berbagai macam
alternatif kepada konsumennya, untuk memilih sesuai dengan harapan yang
menyebabkan persaingan yang ketat.
Persaingan
bisnis di bidang kesehatan juga terjadi pada seluruh tingkat pelayanan,
termasuk di Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan di tingkat primer.
Keberhasilan puskesmas dalam meningkatkan mutu pelayanannya sangat berhubungan
dengan tingkat kepuasan pasien. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk menggali
informasi secara mendalam mengenai
persepsi masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas
Moncobalang dengan pertimbangan karena adanya beberapa masalah yang menyangkut
tentang responsiveness, reliability, assurance, emphaty, tangible dan seringnya terdengar keluhan terhadap pelayanan kesehatan yang di terima
oleh masyarakat, dalam hal sikap dan tindakan tenaga kesehatan, keterlambatan
pelayanan dan lain-lain.
B.
Rumusan
Masalah
Mutu pelayanan
bersifat multidimensional setiap orang tergantung dari latar belakang dan
kepentingan masing-masing, setiap orang dapat saja melakukan penilaian dari
dimensi yang berbeda terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan, namun banyak
faktor yang mempengaruhi mutu, maka peneliti mengacu pada lima dimensi mutu
menurut Parasuraman dkk 1985 (dalam Muninjaya, 2011) yaitu ketanggapan
(Responsiveness), kemampuan (Reliability), jaminan (Assurance), Empati
(Emphaty) dan bukti fisik (Tangible). Dalam penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui tentang persepsi masyarakat terhadap lima dimensi mutu/kualitas,
yakni responsiveness, reliabilty, assurance, emphaty, dan tangible.
Berdasarkan uraian diatas, maka
disusun beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1.
Bagaimana persepsi
masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan berdasarkan responsiveness petugas?
2.
Bagaimana persepsi
masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan berdasarkan reliability petugas?
3.
Bagaimana persepsi
masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan berdasarkan assurance petugas?
4.
Bagaimana persepsi
masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan berdasarkan emphaty petugas?
5.
Bagaimana persepsi
masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan berdasarkan tangible petugas?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas
Moncobalang Kec.Barombong, Kab.Gowa tahun 2012
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui
persepsi masyarakat tentang
responsiveness pelayanan kesehatan di Puskesmas Moncobalang.
b.
Untuk mengetahui
persepsi masyarakat tentang reliability
pelayanan kesehatan di Puskesmas Moncobalang.
c.
Untuk mengetahui
persepsi masyarakat tentang assurance pelayanan kesehatan di Puskesmas
Moncobalang.
d.
Untuk mengetahui
persepsi masyarakat tentang emphaty pelayanan kesehatan di Puskesmas
Moncobalang.
e.
Untuk mengetahui
persepsi masyarakat tentang tangible pelayanan kesehatan di Puskesmas
Moncobalang.
f.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat
Praktis
Sebagai
bahan masukan dan sumber informasi bagi puskesmas, dinas kesehatan maupun
pemerintah setempat dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan
berdasarkan persepsi masyarakat.
2. Manfaat
Ilmiah
Penelitian
ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan dalam bidang
kesehatan masyarakat khususnya yang
berhubungan dengan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas. Hasil penelitian
diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan bacaaan dalam pengembangan
kesehatan masyarakat serta dapat bermanfaat bagi penelitian berikutnya.
3. Manfaat
Institusi
Sebagai
bahan masukan untuk instansi khususnya puskesmas yang terkait dalam persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan di Puskesmas dan dapat membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Umum Tentang Persepsi Pasien
Leavitt
(dalam Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu
pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi
sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan
yang luas mengartikannya sebagai seseorang bagaimana memandang atau mengartikan
sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana
dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan
sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya
terhadap sesuatu tersebut.
Menurut Devito (1997). Persepsi adalah
proses dengan makna kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indera kita. Persepsi meliputi penginderaan (sensasi) melalui
alat-alat indera, atensi dan interpretasi. Sensasi merujuk pada pesan yang
dikirimkan ke otak melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman dan
pengecapan. Reseptor inderawi adalah penghubung antara otak manusia dan
lingkungan sekitar (Rakhmat, 2000).
Walgito (1993) mengemukakan bahwa
persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya
stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan
pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi
stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan
pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera
dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar
proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera
yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan
seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa
seseorang akan bertindak.
Proses
terjadinya persepsi adalah karena adanya objek atau stimulus yang merangsang
untuk ditangkap oleh pancaindera (objek tersebut menjadi perhatian pancaindera)
kemudian objek/stimulus perhatian dibawa ke otak dari otak terjadi adanya
“kesan” atau jawaban (respon) adanya
stimulus, berupa kesan atau respon dibalikkan ke indera kembali berupa
“tanggapan/persepsi” atau hasil kerja indra berupa pengalaman hasil pengolahan
otak.
Persepsi
terjadi apabila dipengaruhi oleh beberapa faktor, secara rinci faktor-faktor
yang mempengaruhi persepsi dikemukakan oleh (Karlina dalam Oskam dan Saparina,
2005), bahwa ada empat karakteristik dari faktor pribadi dan sosial yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu:
1. Faktor
ciri khas dari objek rangsangan, yang terdiri dari:
a. Nilai,
yaitu ciri-ciri dari stimuli seperti nilai bagi subjek mempengaruhi cara
stimuli tersebut dipersepsi
b. Arti
emosional, yaitu sampai seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang
mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan
c. Familiaritas,
yaitu pengenalan yang berkali-kali dari stimulus yang mengakibatkan stimulus
tersebut dipersepsi lebih akurat.
d. Intensitas,
yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran, minat, emosional dan
lain-lain
2. Faktor
pribadi, termasuk dalam ciri khas individu seperti kesadaran, minat, emosional
dan lain-lain.
3. Faktor
pengaruh kelompok, dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi
arah terhadap tingkah laku seseorang.
4. Faktor
latar belakang cultural, orang dapat memberi sesuatu persepsi yang berbeda terhadap
subjek yang sama karena latar belakang cultural yang saling berbeda.
Sedangkan faktor-faktor yang
menentukan persepsi (Karlina dalam Sarwono, 2005), yaitu:
1. Norma
Norma
menyangkut konsep dasar yang mempengaruhi proses mental yang menonjol dalam
kesadaran seseorang pada saat adanya suatu stimuli. Norma dipengaruhi oleh
faktor internal, seperti kebudayaan, kebiasaan, serta agama/kepercayaan dan
faktor eksternal seperti cara bergaul, tingkat sosial ekonomi, pendidikan, dan
sebagainya.
2. Nilai
Nilai
menyangkut konsep terhadap suatu stimuli berdasarkan pada suatu kepercayaan dan
kebiasaan berbasis budaya yang dianut individu.
3. Faktor
Fungsional
Menyangkut
kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita
sebut sebagai faktor-faktor personal.
Persepsi
adalah proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga
dapat mengenal suatu objek dengan jalan asosiasi pada sesuatu ingatan tertentu,
baik secara indera penglihatan, indera perabaan dan sebagainya sehingga
bayangan itu dapat disadari. Persepsi adalah usaha otak untuk menggambarkan
objek atau pariwisata di dunia berdasarkan rangsangan yang masuk dan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Menurut
Kotler, 1994 (Karlina dalam Tjiptono, 2005) kualitas harus dimulai dari kebutuhan
pasien dan berakhir pada persepsi pasien. Hal ini berarti bahwa citra kualitas
yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa,
melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pasien. Pasienlah yang
mengkonsumsi dan menikmati jasa pelayanan sehingga merekalah yang seharusnya
menetukan kualitas jasa pelayanan. Persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan
merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa pelayanan.
B. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan
Pelayanan
kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara, meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, dan kelompok
ataupun masyarakat.
Pelayanan kesehatan dibagi atas
pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat, walaupun berbeda tapi
untuk disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan yang baik keduanya harus
memiliki berbagai persyaratan pokok yakni:
1. Tersedia
dan Berkesinambungan
Pelayanan kesehatan tersebut harus
tersedia dimasyarakat serta bersifat berkesinambungan artinya semua jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan,
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat
diterima dan wajar
Pelayanan dapat diterima oleh
masyarakat serta bersifat wajar artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak
bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan
yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan
masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang
baik.
3. Mudah
dicapai
Syarat pokok ketiga pelayanan
kesehatan yang baik adalah mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat.
Pengertian pencapaian yang dimaksudkan di sini terutama dari sudut lokasi.
Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka
pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang selalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja.
4. Mudah
dijangkau
Syarat pokok keempat pelayanan
kesehatan yang baik adalah mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat.
Pengertian kejangkauan yang dimaksudkan disini terutama dari sudut biaya. Untuk
dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya
pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil
masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan yang baik.
5. Bermutu
Syarat pokok kelima pelayanan
kesehatan yang baik adalah yang bermutu (quality). Pengertian mutu yang
dimaksudkan disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu
pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak lain
tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan (Azwar, 2010).
C.
Tinjauan Umum Tentang Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pada
dasarnya agak sulit untuk didefinisikan karena tergantung dari cara memandang
masalah, selain itu banyaknya batasan yang dianggap cukup penting bahwa
batasan-batasan tentang mutu pelayanan dikenal diantaranya, mutu adalah suatu
campuran dari banyak filosofi manajemen yang disajikan bersama daftar khusus
mengenai prinsip-prinsip yang utamanya berorientasi kepada pelanggan. Kepuasan
pelanggan tidak hanya berarti menanggapi dan mengatasi masalah keluhan, tetapi
juga melakukan pendekatan dengan metode tertentu untuk meneliti asal masalah
serta besaran masalah dan dampaknya. Kemenkes RI memberikan pengertian tentang
mutu pelayanan kesehatan, yang meliputi kinerja yang menunjukkan tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat menimbulkan kepuasan
bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga sesuai dengan
standar dan kode etik profesi yang telah
ditetapkan (Al-Assaf, 2009).
Mutu pelayanan
sangat objektif tergantung persepsi sistem nilai dan latar belakang sosial,
pendidikan, ekonomi, budaya, dan faktor-faktor lainnya. Bagi pasien mutu
pelayanan yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, kecepatan
pelayanan, kepuasan terhadap lingukungan fisik, mutu pelayanan yang buruk lebih
disebabkan oleh perawat yang bermuka cemberut, betapapun cekatannya dan
profesionalnya perawat tersebut dalam memberikan pelayanan.
Persepsi
pelanggan/pasien tentang mutu pelayanan merupakan perbandingan antara harapan
sebelum dan sesudah menerima asuhan yang sebenarnya. Dengan kata lain mutu
pelayanan dinilai apakah memenuhi harapan pasien atau tidak, apabila harapan
terpenuhi hal itu dirasakan memuaskan (Karlina dalam Setiawan, 2003).
Mutu pelayanan
bersifat multidimensional setiap orang tergantung dari latar belakang dan
kepentingan masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dari dimensi yang
berbeda terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan, Robert & Prevost tahun
1987 (dalam Azwar, 2010) menyebutkan bahwa:
1. Bagi
pemakai jasa pelayanan kesehatan
Mutu
pelayanan kesehatan terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan
pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keprihatinan serta
keramahtamahan petugas dalam melayani pasien dan atau kesembuhan penyakit yang
sedang diderita oleh pasien.
2. Bagi
penyelenggara pelayanan kesehatan
Mutu
pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan yang
diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran mutakhir dan
atau adanya otonomi profesi, pada waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien.
3. Bagi
penyandang dana pelayanan kesehatan.
Mutu
pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efisiensi pemakai sumber dana,
kewajaran pembiayaan kesehatan dan atau kemampuan pelayanan kesehatan
mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan kesehatan.
Defenisi kualitas/mutu pelayanan
berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan/pasien serta
ketetapan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Olsen dan
Wyckoff (Karlina dalam Setiawan, 2003) mengatakan bahwa kualitas/mutu pelayanan
dapat dilihat dari perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja
kualitas/mutu jasa pelayanan.
Collier, 1987
(Karlina dalam Setiawan 2005) mendefinisikan mutu pelayanan yaitu lebih menekankan pada kata pelanggan, pelayanan,
mutu/kualitas dan level atau tingkat pelayanan terbaik terhadap pelanggan
(excellent) dan tingkat mutu/kualitas pelayanan merupakan cara terbaik yang
konsisten untuk dapat mempertemukan harapan konsumen (standar pelayanan
eksternal dan biaya) dan sistem kinerja cara pelayanan (standar pelayanan
eksternal, biaya dan keuntungan).
Sesuai dengan
peranan yang dimiliki oleh masing-masing unsur pelayanan kesehatan, standar
dalam program menjaga mutu secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni:
1. Standar
persyaratan minimal
Yang
dimaksud dengan standar persyaratan minimal di sini adalah yang menunjuk pada
keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu. Standar persyaratan minimal ini dibedakan
atas tiga macam yakni:
a. Standar
masukan
Dalam
standar masukan ditetapkan persyaratan minimal unsur masukan yang diperlukan
untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, yakni jenis,
jumlah dan kualifikasi tenaga pelaksana, jenis, jumlah dan spesifikasi sarana,
serta jumlah dana (modal). Jika standar masukan tersebut menunjuk pada tenaga
pelaksana disebut dengan nama standar ketenagaan (standard of personnel).
Sedangkan jika standar masukan tersebut menunjuk pada sarana dikenal dengan
nama standar sarana (standard of facilities). Untuk dapat menjamin terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu, standar masukan tersebut harus dapat
ditetapkan.
b. Standar
lingkungan
Dalam
standar lingkungan ditetapkan
persyaratan minimal unsur lingkungan yang diperlukan untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, yakni garis-garis besar
kebijakan, pola organisasi serta sistem manajemen yang harus dipatuhi oleh
setiap pelaksana pelayanan kesehatan. Standar lingkungan ini popular dengan
sebutan standar organisasi dan manajemen (standard of organization and
management). Sama halnya dengan masukan, untuk dapat menjamin terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu, maka standar lingkungan ini harus dapat pula
ditetapkan.
c. Standar
proses
Dalam
standar proses ditetapkan standar minimal unsur proses yang harus dilakukan
untuk dapat menyelenggarakn pelayanan kesehatan yang bermutu, yakni tindakan
medis dan tindakan non medis pelayanan kesehatan. Standar proses ini dikenal
dengan nama standar tindakan (standard of conduct). Karena baik atau tidaknya
mutu pelayanan sangat ditentukan oleh kesesuaian tindakan dengan standar
proses, maka harus dapat
diupayakan
tersusunnya standar proses tersebut.
d. Standar
penampilan minimal
Yang
dimaksud dengan standar penampilan minimal di sini adalah yang menunjuk pada
penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diterima. Standar ini, karena
menunjuk pada unsur keluaran, disebut dengan nama standar keluaran, atau
popular dengan sebutan standar penampilan (standard of performance). Untuk
mengetahui apakah mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan masih dalam
batas-batas yang wajar atau tidak, perlu ditetapkan standar keluaran.
Untuk
dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan keempat standar ini perlu dipantau
serta dinilai secara objektif dan berkesinambungan. Apabila kebetulan ditemukan
penyimpangan, perlu segera diperbaiki. Pemantauan dan penilaian standar ini
diukur dari indikator yang sesuai, yang secara umum dapat dibedakan pula atas
empat macam yakni indikator masukan, proses, lingkungan serta keluaran.
Beberapa
ahli memberikan pengertian mutu/kualitas (kualitas pelayanan) antara lain
menurut Poli, 1999 (Karlina dalam Setiawan, 2005) mengemukakan kualitas adalah
keseluruhan ciri dari suatu produk atau jasa yang mengandung kemampuan
pelanggan/pasien yang tersurat atau yang tersirat. Selanjutnya menurut
Parasuraman, dkk 1990 (Karlina dalam Setiawan, 2005) mengemukakan bahwa
seberapa besar kesenjangan antara persepsi pasien atas kenyataan pelayanan yang
diterima dibandingkan dengan harapan pasien atas pelayanan yang diterima.
Kemudian
Tenner dan De Toro, 1992 (Karlina dalam Setiawan, 2005) mengemukakan bahwa
nilai kualitas yang paling mudah dipahami dari suatu jasa pelayanan adalah
faster (cepat), better (lebih baik), dan cheaper (lebih murah). Robert dan
Provost, 1987 (Karlina dalam Azwar, 1996) menyatakan bahwa bagi pemakai jasa
pelayanan kesehatan (health customer), kualitas pelayanan lebih terkait dengan
ketanggapan petugas dengan pasien, keprihatinan dan keramahtamahan serta
tindakan/perilaku petugas dalam melayani pasien, hal ini sesuai dengan firman
ALLAH SWT dalam Surah Al-Mu’Min (40) ayat 19 Terjemahan:
Dia mengetahui (pandangan) mata
yang khianat[1318] dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Selain itu, hal yang menyangkut
tentang perilaku juga terdapat di dalam Al-Qur’an Surah Al Qalam ayat 4 yang
berbunyi :
Terjemahan:
dan Sesungguhnya kamu (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Selain itu, hal yang menyangkut
tentang perilaku juga terdapat di dalam hadist yang artinya :
“Tiadalah engkau diciptakan Muhammad
kecuali untuk menyempurnakan akhlaq atau perilaku yang mulia “ (Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Baihaqi)
Zeithaml, Berry dan Parasuraman
(Muninjaya, 2011) mengidentifikasi lima dimensi yang digunakan oleh para
pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa, yaitu:
1. Responsiveness
yaitu keinginan para staf untuk membantu para pasien dan memberikan pelayanan
dengan tanggap.
2. Reliability
yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan
memuaskan.
3. Assurance
mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya,
risiko atau keragu-raguan.
4. Emphaty
meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan para pasien.
5. Tangible
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
pegawai dan sarana komunikasi.
D. Tinjauan Umum Tentang Indikator Mutu Pelayanan
Kesehatan
Mutu pelayanan
kesehatan adalah hasil akhir (outcome) dari interaksi dan ketergantungan antara
berbagai aspek komponen atau unsure organisasi pelayanan kesehatan sebagai
suatu sistem. Jika diketahui adalah tentang mutu pelayanan (masalah) makan yang
diukur adalah keluarannya (outcome), tetapi jika yang ingin diketahui adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan (penyebab), maka yang diukur
adalah indikator masukan serta lingkungan (Azwar, 2010).
Kelima komponen
mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual. Kelima dimensi mutu menurut
Parasuraman dkk meliputi:
1. Responsiveness
Dimensi
ini dimasukan ke dalam kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan
kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan.
Dimensi ini merupakan penilaian mutu pelayanan yang paling dinamis. Harapan
pelanggan terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu
sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh
pelanggan. Nilai waktu bagi pelanggan menjadi semakin mahal karena masyarakat
merasa kegiatan ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk
menilai mutu pelayanan kesehatan dari aspek ekonomi para penggunanya. Pelayanan
kesehatan yang responsive terhadap kebutuhan pelanggannya kebanyakan ditentukan
oleh sikap para front line staff. Mereka secara langsung berhubungan dengan
para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui tatap muka, komunikasi non
verbal, langsung atau melalui telepon.
2. Reliability
Kemampuan
untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai
dengan yang ditawarkan (seperti dalam brosur). Dari kelima dimensi kualitas
jasa, reliability dinilai paling penting oleh para pelanggan berbagai industri
jasa. Karena sifat produksi jasa yang nonstandardlized output, dan produknya
juga sangat tergantung dari aktivitas manusia sehingga akan sulit mengharapkan
output yang konsisten. Apalagi jasa diproduksi dikonsumsi pada saat yang
bersamaan.
Untuk
meningkatkan reliability di bidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen puncak
perlu membangun budaya kerja bermutu yaitu budaya tidak ada kesalahan atau
corporate culture of no mistake yang diterapkan mulai dari pimpinan puncak
sampai ke front line staff (yang langsung berhubungan dengan pasien). Budaya
kerja seperti ini perlu diterapkan dengan membentuk kelompok kerja yang kompak
dan mendapat pelatihan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan
teknologi kedokteran dan ekspektasi pasien.
3. Assurance
Kriteria ini
berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas yang dapat
dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan ini akan
mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari risiko. Berdasarkan riset,
dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan.
Variabel ini perlu dikembangkan oleh pihak manajemen institusi pelayanan
kesehatan dengan melakukan investasi, tidak saja dalam bentuk uang melainkan
keteladanan manajemen puncak, perubahan sikap dan kepribadian staf yang
positif, dan perbaikan sistem remunerasinya (pembayaran upah).
4. Empathy
Kriteria ini
terkait dengan kepedulian dan perhatian khusus staf kepada setiap pengguna
jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap
saat jika para pengguna jasa ingin memperoleh bantuannya. Peranan SDM kesehatan
sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung
memenuhi kepuasan para pengguna jasa pelayanan kesehatan.
5. Tangible
Mutu
jasa pelayanan kesehatan juga dapat dirasakan secara langsung oleh para
penggunanya dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang memadai.
Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara optimal sesuai dengan
keterampilan masing-masing. Dalam hal ini, perlu dimasukkan perbaikan sarana
komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang tidak langsung seperti tempat parkir
dan kenyamanan ruang tunggu. Karena sifat produk jasa yang tidak bisa dilihat,
dipegang, atau dirasakan, perlu ada ukuran lain yang bisa dirasakan lebih nyata
oleh para pengguna pelayanan. Dalam hal ini, pengguna jasa menggunakan
inderanya (mata, telinga dan rasa) untuk menilai kualitas jasa pelayanan
kesehatan diterima, misalnya ruang penerimaan passion yang bersih, nyaman,
dilengkapi dengan kursi, lantai berkeramik, TV, peralatan kantor yang lengkap,
seragam staf yang rapi, menarik dan bersih.
D. Tinjauan Umum Tentang Kepuasan Pasien Terhadap
Pelayanan Kesehatan
Tjiptono
(2006) Kepuasan adalah respon pelanggan sebagai hasil dan evaluasi
ketidaksesuaian kinerja/tindakan yang dirasakan sebagai akibat dari tidak
terpenuhinya harapan. Hal ini dinyatakan oleh Sugito (2005) yang menyebutkan
bahwa tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang
dirasakan dengan harapan, apabila kinerja di bawah harapan maka pelanggan akan
kecewa. Pada dasarnya harapan pelanggan adalah perkiraan/keyakinan pelanggan
tentang pelayanan yang diterimanya akan memenuhi harapannya.
Kepuasan
pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan
dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan
merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih
efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu
pelayanan disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif
dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik.
Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting
dalam mengembangkan suatu sistim penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap
kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak
pelayanan terhadap populasi sasaran (Triatmojo, 2006).
Menurut
Pendapat Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi
kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor,
antara lain :
a.
Kualitas produk atau
jasa
Pasien
akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang
digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk atau jasa
dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang
sesungguhnya dan komunikasi perusahaan terutama iklan dalam mempromosikan
Puskesmasnya.
b.
Kualitas Pelayanan
Memegang
peranan penting dalam industri jasa.
Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh
pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.
c.
Faktor Emosional
Pasien yang
merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap konsumen bila dalam hal
ini pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “Rumah Sakit
Mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
d.
Harga
Harga merupakan
aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai
kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi
biaya yang dikeluarkan, biasanya makin mahal harga perawatan maka pasien
mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama
tetapi berharga murah, memberi nilai yang tinggi pada pasien.
e.
Biaya
Mendapatkan
produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau
tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas
terhadap jasa pelayanan tersebut.
BAB III
KERANGKA KONSEP
A.
Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Pengguna
pelayanan kesehatan tercermin di dalam harapannya tentang kualitas pelayanan
yang diinginkan ketika menerima pelayanan kesehatan. Apabila pelayanan yang
diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka
kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan yang
diterima melampaui harapan pasien, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya
jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka
kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas
pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia pelayanan kesehatan dalam memenuhi
harapan pasien secara konsisten.
Kepuasan
pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat disimpulkan sebagai selisih kinerja
institusi pelayanan kesehatan dengan harapan pelanggan (pasien atau kelompok
masyarakat). Dari penjelasan ini, kepuasan pelanggan (customer satisfaction)
dapat dibuatkan rumus sebagai berikut.
Satisfaction
= f { performance – expectation}
Dari rumus ini dihasilkan tiga
kemungkinan:
1. Perfomance
< Expectation
Jika
kinerja institusi pelayanan kesehatan lebih jelek dari apa yang diharapkan para
penggunanya (pasien dan keluarganya), kinerja pelayanan kesehatan akan
dipandang jelek oleh pengguna, karena tidak sesuai dengan harapan pengguna
sebelum menerima pelayanan kesehatan. Hasilnya, pengguna pelayanan merasa
kurang puas dengan pelayanan yang diterima.
2. Performance
= Expectation
Jika
kinerja institusi penyedia pelayanan kesehatan sama dengan harapan sama
penggunanya, pengguna jasa pelayanankesehatan akan menerima kinerja pelayanan
jasa dengan baik. Pelayanan yang diterima sesuai dengan yang diharapkan para
penggunanya. Hasilnya, para pengguna pelayanan merasa puas dengan pelayanan
yang di terima.
3. Perfomance
> Expectation
Bila
kinerja institusi pelayanan kesehatan lebih tinggi dari harapan para pengguna
pelayanan kesehatan akan menerima pelayanan kesehatan melebihi harapannya.
Hasilnya, para pelanggan merasa sangat puas dengan pelayanan kesehatan yang
mereka terima. (Muninjaya, 2011).
Menurut
Parasuraman dkk 1985 (dalam Muninjaya ,
2011) mengatakan bahwa terdapat lima dimensi yang digunakan pasien dalam
menilai suatu mutu pelayanan kesehatan yaitu responsiveness, reliability,
assurance, emphathy, dan tangible. Mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada
pelayanan kesehatan dan kelancaran
komunikasi antara petugas dengan pasien.
Bertolak dari
dasar pemikiran tersebut maka penelitian ini akan diteliti mengenai persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan dengan teori Parasuraman dkk yang mencakup tentang
responsiveness, reliability, assurance, emphaty, dan tangible.
B.
Pola
Pikir Variabel Yang Diteliti
TANGIBLE
|
PERSEPSI
MASYARAKAT TERHADAP MUTU PELAYANAN
KESEHATAN
|
RELIABILITY
|
RESPONSIVENESS
|
ASSURANCE
|
EMPHATY
|
Gambar 1.
Kerangka Konsep Penelitian
C.
Definisi
Konsep
1. Persepsi
Pernyataan
informan tentang tingkat kepuasan atau ketidakpuasan
mengenai pelayanan yang diterima di puskesmas.
2. Responsiveness
Persepsi
informan tentang kecepatan daya tanggap petugas kesehatan dalam melayani.
3. Reliability
Persepsi
informan tentang kemampuan petugas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang
akurat, teliti dan terpercaya yang meliputi petugas kesehatan dalam melakukan
pelayanan dengan tepat waktu, dapat memberikan informasi yang akurat pada
pasien, dan memberikan pelayanan tidak membeda-bedakan pasien yang satu dengan
yang lain.
4. Assurance
Persepsi
informan tentang pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas yang dapat
menimbulkan rasa aman dan nyaman merasa bebas dari risiko.
5. Empathy
Persepsi
informan tentang kemampuan petugas
kesehatan dalam memahami dan menempatkan diri pada keadaan yang dihadapi oleh
pasien meliputi, sikap petugas yang sabar dan telaten dalam menghadapi pasien,
memiliki rasa hormat dan bersahabat, mampu menghadapi keadaan yang dialami oleh
pasien dan petugas senantiasa memperlakukan pasien dengan baik.
6. Tangible
Persepsi
informan tentang penampilan fasilitas fisik dengan perlengkapan, kenyamanan dan
kebersihan ruangan, lingkungan serta peralatan yang digunakan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk menggali
informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan
di Puskesmas Moncobalang Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa Tahun 2012.
B.
Waktu
Dan Lokasi Penelitian
Penelitian
dilakukan pada tanggal
16 maret sampai 17 april 2012. Penelitian
ini dilakukan di Puskesmas Moncobalang Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa Tahun 2012.
C.
Cara
Pemilihan Informan
Informan
dalam penelitian ini dipilih secara purpossive sampling dengan pertimbangan
sebagai berikut :
1. Masyarakat
yang pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Moncobalang yang terdiri dari tiga Desa yaitu Desa Tinggimae, Desa
Moncobalang dan Desa Biringala dan bersedia untuk diwawancarai.
2. Tokoh
masyarakat yang pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Moncobalang yang terdiri dari tiga Desa, yaitu Desa Tinggimae,
Desa Moncobalang, dan Desa Biringala dan bersedia untuk diwawancarai.
D.
Instrumen
Penelitian
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tape recorder, kamera digital,
catatan lapangan, pedoman wawancara dan lembar observasi.
E.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi
tidak terstruktur.
F.
Rancangan
Pengumpulan Data
Penelitian
ini akan menggunakan analisis isi (content analysis), sedangkan penyajian data
dalam bentuk narasi. Proses rancangan pengumpulan data dilakukan secara bertahap, sebagai
berikut:
1. Proses
pengumpulan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari hasil
wawancara, pengamatan, dan catatan lapangan.
2. Mereduksi
data dengan cara membuat rangkuman (inti dan proses pernyataan-pernyataan
informan).
3. Menyusun
data dalam satuan-satuan dengan cara membuat matriks
4. Interpretasi
data hasil reduksi.
G.
Teknik
Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam
penelitian kualitatif jumlah informan biasanya lebih sedikit. Oleh karena itu
validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif disebut triangulasi yang
meliputi triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi teoritis,
triangulasi investigator, dan triangulasi analisis (Afrianty dalam Denzin,
2008). Untuk menetapkan keabsahan data dalam penelitian ini hanya digunakan dua
triangulasi yaitu:
1. Triangulasi
Sumber
Menggunakan
sumber informasi yang berbeda.
a.
Masyarakat yang pernah
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Moncobalang yang terdiri dari tiga Desa yaitu Desa Tinggimae, Desa Moncobalang,
dan Desa Biringala dan bersedia untuk diwawancarai.
b.
Tokoh masyarakat yang
pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Moncobalang yang terdiri dari tiga Desa
yaitu Desa Tinggimae, Desa Moncobalang, dan Desa Biringala dan bersedia untuk
diwawancarai.
2. Triangulasi
Metode
Menggunakan
metode pengumpulan data yang berbeda yaitu:
a. Wawancara
mendalam
b. Observasi
tidak terstruktur.
BAB V
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas
Moncobalang merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan dalam lingkup Dinas
Kesehatan kabupaten Gowa yang terletak dalam wilayah Kecamatan Barombong.
Dari
segi geografi Puskesmas Moncobalang mempunyai batas-batas wilayah sebagai
berikut:
1. Sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Lembang Parang.
2. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar.
3. Sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Bajeng.
4. Sebelah
Barat berbatasan dengan Kecamatan
Galesong Kabupaten Takalar.
Wilayah
Puskesmas Moncobalang terdiri dari tiga desa, dengan masing-masing luas masing-masing
desa sebagai berikut:
1. Desa
Tinggimae : 4, 12 Km2
2. Desa
Moncobalang : 4, 50 Km2
3. Desa
Biringala : 3, 14 Km2
Masalah
Kependudukan yang dihadapi saat ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya
yakni bukan hanya jumlah penduduk, kepadatan penduduk, kepadatan penduduk serta
arus perpindahan penduduk sangat mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi dan sudah
menjadi kesepakatan bersama untuk mengendalikan angka kelahiran dan angka
kematian.
Kepadatan
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Moncobalang cukup tinggi, hal ini sangat berpengaruh
pada tingkat kesejahteraan anak, masalah gizi, perumahan, sanitasi lingkungan
yang masih belum memenuhi syarat kesehatan. Hal tersebut dapat diperburuk lagi
oleh keadaan ekonomi yang rendah, laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi sedangkan luas wilayah tidak bertambah yang
pada akhirnya mengakibatkan kepadatan penduduk cenderung meningkat dari waktu
ke waktu.
Jumlah penduduk
diwilayah kerja Puskesmas Moncobalang pada tahun 2011 tercatat sebanyak 3.622
KK dengan jumlah rumah 3.080 rumah, selain itu yang menjadi permasalahan baru
adalah rumah masyarakat yang masih belum memenuhi syarat/ standar kesehatan.
B.
Hasil
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Moncobalang yang merupakan salah
satu Puskesmas yang terletak di Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa, terdiri
dari dari tiga Desa yaitu Desa Tinggimae, Desa Moncobalang, Desa Biringala dan
dua Puskesmas Pembantu yaitu Puskesmas Pembantu Tinggimae dan Puskesmas
Pembantu Biringala. Pengambilan data dilaksanakan selama empat minggu.
Jumlah
informan dalam penelitian ini adalah 20 informan yang dipilh secara purpossive
sampling. Adapun jumlah informan yang pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Moncobalang dan bersedia untuk diwawancarai sebanyak 16 orang dan Tokoh
masyarakat yang pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Moncobalang dan bersedia untuk diwawancarai sebanyak empat
orang.
1. Karakteristik Umum
Informan
Pada
karakteristik informan berdasarkan kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas
Moncobalang menunjukan bahwa kelompok umur terbanyak adalah yang berumur 51-60
yaitu sebanyak 5 informan (25%) sedangkan kelompok umur yang terendah berumur
>71yaitu sebanyak 1 informan (5%).
Selain
itu, karakteristik informan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah
informan laki-laki sebanyak 7 informan (35 %) dan jumlah informan perempuan
sebanyak 13 informan (65%). Pada
karakteristik informan berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa
sebanyak 2 informan (10%) berpendidikan setara satu, informan yang
berpendidikan SMA/SMK sebanyak 7 informan (35%), dan informan yang
berpendidikan SMP sebanyak 5 informan (25%), sedangkan yang berpendidikan SD
sebanyak 6 informan (30%).
Karakteristik
informan berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan bahwa dari 20 informan jenis
pekerjaan terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebanyak 11 informan
(55%) sedangkan jenis pekerjaan yang terendah adalah wiraswasta dan karyawan
swasta yaitu sebanyak 1 informan (5%). Lebih
jelasnya tentang karakteristik informan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel Karakteristik Informan Yang Memanfaatkan
Pelayanan Kesehatan Di Wilayah Kerja Puskesmas Moncobalang
Tahun 2012
Kelompok Umur
|
N
|
%
|
20
– 30
|
4
|
20
|
31
– 40
|
4
|
20
|
41
– 50
|
3
|
15
|
51
– 60
|
5
|
25
|
61
– 70
|
3
|
15
|
>71
|
1
|
5
|
Total
|
20
|
100
|
Jenis Kelamin
|
N
|
%
|
Laki-laki
|
7
|
35
|
Perempuan
|
13
|
65
|
Jumlah
|
20
|
100
|
Tingkat Pendidikan
|
N
|
%
|
SD
|
6
|
30
|
SMP
|
5
|
25
|
SMA/SMK
|
7
|
35
|
S1
|
2
|
10
|
Total
|
20
|
100
|
Jenis Pekerjaan
|
N
|
%
|
PNS
|
2
|
10
|
Kepala
Desa
|
3
|
15
|
Petani
|
2
|
10
|
Karyawan
Swasta
|
1
|
5
|
IRT
|
11
|
55
|
Wiraswasta
|
1
|
5
|
Total
|
20
|
100
|
Sumber: Data primer
1.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Responsiveness Petugas Kesehatan
Pertanyaan
ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang persepsi informan terhadap responsiveness
petugas kesehatan di puskesmas.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan mengenai responsiveness diketahui bahwa persepsi
masyarakat terhadap petugas kesehatan dalam memberikan prosedur pelayanan kesehatan bahwa umumnya
pasien dijelaskan cara kerja di puskesmas, hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut :
“ Iya dia jelaskanji itu, karena
kalau kita sampai disana ya ambil
kartu toh , terus masuk meki, terus ditanya sakit apa? Ya itu saja kita
di periksa langsung di kasi obat “
(SG, 52 Tahun, 1, 22 Maret 2012).
(menurut dari informan bahwa kalau pasien datang ke puskesmas pasien
di jelaskan prosedur yang ada di puskesmas mulai dari tahap pengambilan kartu
sampai dengan pasien pulang).
Sejalan dengan pernyataan informan
lain sebagai berikut:
”Cara
kerjanya disana harus menyodorkan jamkesmas kalau kita tidak punya jamkesmas
kita pakai kartu keluarga saja atau KTP kalau kita tidak punya kita dilayani
dengan umum “
(FT, 20 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut dari
informan bahwa kalau pasien datang ke
sana harus menyodorkan jamkesmas kalau pasien tidak mempunyai jamkesmas bisa
pakai kartu keluarga atau KTP kalau tidak punya semuanya maka pasien dilayani
dengan umum)
Selain itu ternyata ada juga
informan yang menyatakan petugas kesehatan tidak memberikan prosedur
pelayanan kesehatan, hal ini sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut:
“Ndak. Yang penting kalau sudah
meki ambil kartu langsung meki nakasi’ obat.. “
(MM, 50 Tahun,
1, 28 Maret 2012)
(menurut dari
informan bahwa petugas tidak menjelaskan prosedur pelayanan yang ada di
puskesmas karena pasien langsung mengambil kartu saja dan setelah itu diberi
obat)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi masyarakat tentang petugas
kesehatan dalam memenuhi harapan pelanggan bahwa harapan pasien terpenuhi
karena pasien dilayani dengan baik, hal ini sesuai dengan pernyataan berikut :
“Iya..dipenuhi
semua. Karena mulai dari awal hingga sampai akhirnya itu dia melayani secara
tuntas”
(FD, 29 Tahun,
1, 21 Maret 2012)
(menurut dari
informan bahwa harapan pasien semuanya dipenuhi, karena petugas
kesehatan melayani dari awal hingga akhir)
“Dia penuhi
harapan, karena kita dilayani dengan baik. Karena kalau kita kesana dia
persiapkan “
(AB, 58 Tahun,
1, 24 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa harapannya sebagai pasien
dipenuhi dengan alasan pasien dilayani dengan baik dan petugas kesehatan merasa
siap melayani pasiennya)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi masyarakat tentang petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan dengan tanggap bahwa setiap pasien
bertanya kepada petugas kesehatan selalu ditanggapi dengan baik, hal ini sesuai
dengan pernyataan berikut :
“Iya… cepat ditanggapi karena
misalnya kita sakit , dia bilang jangan begini, jangan minum begini, kita kan
sakit begini harus banyak istirahat “
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa ketika pasien datang ke
puskesmas merasa cepat ditanggapi dan pasien merasa diberi nasehat dengan baik
oleh petugas kesehatan)
“Ya…cepat. Ya.. karena puskesmas
disini tidak sama dengan puskesmas yang lain. Puskesmas yang lainnya itu
biasanya antri. Ya… kalau disini tidakji..”
(JF, 58 Tahun,1, 9 Maret 2012)
(menurut informan bahwa kalau pasien datang mereka cepat
ditanggapi, dibandingkan dengan puskesmas yang lain)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi masyarakat mengenai kesiapan atau kemauan petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan bahwa petugas kesehatan siap melayani pasien
dibandingkan di puskesmas pembantu, hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Iya terlalu siap. Terlalu siap
kalau bagi saya. Tidak tau kalau pasien yang lain karena menurut saya pelayanan
disana baik sekali, dibandingkan dengan ada yang di pustu.
(FD, 29 Tahun, 1, 21 Maret 2012)
(menurut informan bahwa petugas
pelayanan kesehatan di Puskesmas Monbcobalang terlalu siap melayani pasiennya
dan pasienpun merasa mendapatkan pelayanan yang baik, dibandingkan dengan
puskesmas pembantu yang ada di wilayah kerja puskesmas moncobalang)
“Siap dilayani, misalnya kalau kita ada
keluhan baru dia tidak sanggup baru dia kasi’ rujukan kita harus ke Rumah Sakit
, kita tidak sanggup”
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa pasien siap
dilayani, dan mereka ambil contoh bahwa apabila pasien sakit keras dan pihak
puskesmas tidak dapat menanggulanginya maka pasien diberi rujukan ke rumah
sakit guna keselamatan pasien)
Berdasarkan
uraian diatas tergambar bahwa responsiveness petugas kesehatan di Puskesmas
Moncobalang, sepenuhnya bisa dikatakan
dalam kategori baik, karena sebagian besar dari informan, menyatakan sudah baik
namun ada juga beberapa informan yang menyatakan sebaliknya petugas kesehatan
dalam memberikan prosedur pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya masyarakat tau
tentang prosedur apa yang diberikan oleh petugas kesehatan, hal ini sesuai
dengan apa yang dirasakan atau dialami oleh informan itu sendiri.
2.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Reliability Petugas Kesehatan
Pertanyaan ini bertujuan untuk
memperoleh informasi tentang persepsi masyarakat tentang reliability petugas
kesehatan di Puskesmas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan mengenai reliability diketahui
bahwa petugas kesehatan teliti bekerja dalam memeriksa pasien. Hal ini sesuai
dengan pernyataan berikut:
“Iya Teliti.
Setiap ada masalah keluhan pasti
ditanyakan apanya yang sakit? apanya yang terganggu?. Teliti dia, karena setiap
ada pasien pertamanya kalau ada anak kecil di timbang dulu, kalau orang besar
pasti di tensi apanya yang sakit …, begitu.
(FT, 20 Tahun,1,
3 April 2012)
(menurut informan bahwa petugas kesehatan teliti dalam
bekerja contohnya salah satunya saat pada saat dokter memeriksa pasien pasti
ditanyakan terlebih dahulu apa keluhan dari pasien yang sesuai dirasakan oleh
pasien)
“Telitinya bekerja disini, karena setiap kita
datang disini ditanya apa keluhanta’. Eee…mau berobat atau lanjut berobat?
Begitu…, dokternya teliti juga , keluhan-keluhan apa yang kita derita kita
kasi’ tau dia”
(MA, 64 Tahun,
1, 19 Maret 2012)
(menurut informan
bahwa petugas kesehatan teliti bekerja, dan sebelum petugas bekerja
sebelumnya ditanyakan apa keluhan pasien dan ditanyakan apa yang diderita oleh
pasien)
Selain itu ternyata ada juga pasien yang
menyatakan bahwa pasien tidak tau tentang ketelitian petugas kesehatan dalam
bekerja. Hal ini sesuai dengan wawancara sebagai berikut:
“Eee…. Masalah telitinya saya tidak tau,
kalau kita ke puskesmas dia layaniki seperti baik pelayanannya”
(JF, 58 tahun,
1, 19 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa masalah ketelitian
petugas kesehatan dalam bekerja pasien tidak tau namun dalam hal pelayanan
kesehatan sudah baik)
“Kalau bicara
dibidang kesehatan saya tidak tau
persis bahwa dia teliti , karena bukan
bidang saya”
(AD, 49 Tahun,
2, 31 Maret 2012)
(menurut informan bahwa pasien tidak mengetahui ketelitian
petugas kesehatan dalam bekerja atau memeriksa pasien karena pasien merasa dia
tidak tau dibidang kesehatan)
Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan mengenai persepsi pasien mengenai kemampuan petugas dalam menyampaikan
informasi yang diberikan tenaga kesehatan sehubungan masalah kesehatan pasien
bahwa masalah kesehatan yang dialami pasien sering disampaikan oleh petugas
kesehatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Kalau kita
sakit dia sampaikan , dia bilang dia tanya sakit apa?, kalau parah dikasi’
rujukan “
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa petugas kesehatan sering
menyampaikan masalah kesehatan pasien)
“Iya…iya...iya
sering. Sering nabilang janganki’makan sembarangan, janganki makan yang
lain-lain, kalau sakit lambung jangan makan sembarang, janganki’ makan yang
keras”
(JN, 79
Tahun,1, 20 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa informasi masalah kesehatan pasien seringkali diberi oleh
petugas kesehatan mengenai masalah kesehatan yang dialami pasien)
Selain
itu ada juga pasien yang menyatakan bahwa petugas kesehatan tidak menyampaikan
informasi sehubungan dengan masalah kesehatan pasien. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Tidak. Karena
kalau naperiksaki tidak natanyaki’ janganki begini. Tidak…”
(RW, 22 Tahun,
1, 26 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan tidak memberi informasi masalah kesehatan
pasien)
“Tidak Pernah.
Tidak tau kalau yang lain…”
(SG, 52 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi masalah
kesehatan pasien)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi pasien tentang prosedur
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan bahwa pasien diajari
oleh petugas kesehatan dan pasien sudah menganggap baik. Hal ini sesuai dengan
pernyataan sebagai berikut:
“Diajari itu.
Pertama mulai disuruh kasi’ masukan KK/ KTP, Fotocopynya saja . Habis itu pake’
susun nomorki’, habis itu diperiksa baru dikasi’ obat biasanya ya alhamdulillah
sudah banyak kemajuan”
(FD, 29 Tahun,
1, 21 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa pasien diajari oleh petugas kesehatan baik itu dalam pengambilan
nomor antrian, menyodorkan KK/ KTP setelah itu masuk diruang periksa setelah
itu diberi obat dan pasienpun merasa
bersyukur karena kesehatan yang dialami
mengalami kemajuan)
“Prosedur
pelayanannya saya sudah anggap juga baek karena kita harus memperlihatkan askes
baru menuju yang ke tertentu. Karena sudah sesuai dengan prosedurnya”
(AD, 49 Tahun,
2, 31 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa prosedur pelayanannya
sudah baik, dan pasien mengerti tentang prosedur yang ada di puskesmas)
Ada
juga informan yang menyatakan bahwa petugas kesehatan tidak mengajarkan pasien
masalah prosedur pelayanan yang ada di puskesmas. Hal ini sesuai dengan
pernhyataan sebagai berikut:
“Tidak pernahki
diajara’. Dia ajarki kah? Tidakji… katanya langsung ambil kartu toh…”
(SG, 52 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa pasien tidak pernah diajar masalah prosedur pelayanan kesehatan
oleh petugas kesehatan, pasien langsung ambil kartu saja)
“Cara-caranya
kalau sudah meki nakasi obat pergi meki. Tidak..”
(MM, 50 Tahun,
1, 28 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas tidak memberikan prosedur pelayanan kesehatan, setahu
pasien cuma diberi obat langsung pulang)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi pasien tentang tanggung jawab
petugas kesehatan terhadap pelanggan bahwa pasien dilayani dengan tepat waktu dan merasa petugas
kesehatan tepat waktu datang di puskesmas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
sebagai berikut:
“Ya… Tepat
waktulah. Itulah tadi saya bilang, kalau kita disana cepat dilayani”
(JF, 58 Tahun,
1, 19 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan tepat waktu datang ke puskesmas dan merasa
cepat dilayani)
“Nalayani, kalau ada maki’ masuk nalayani
langsung, tepat waktu. Begitu..”
(JN, 79 Tahun,
1, 20 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa pasien cepat dilayani apa bila pasien sudah masuk ke puskesmas
dan merasa petugas kesehatan datang tepat waktu)
Tidak semua
informan mengatakan bahwa pelayanan di puskesmas tepat waktu, dalam
kenyataannya berdasarkan hasil observasi peneliti selama waktu penelitian
berlangsung dan beberapa informan berpendapat bahwa pelayanan puskesmas tidak
tepat waktu dan petugas kesehatan selalu datang telat dan terkadang pasien
sudah ada disana namun petugas kesehatannya belum datang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Ya.. biasa mau
maki’ kesana belum datang petugasnya, biasa lambat pernahka’ mau ambil
keterangan dokter untuk sertifikasi guru lama sekali ka’ disebelahnya belumpi
datang dokternya”
(SG, 52 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa kalau pasien sudah ada di
puskesmas , biasanya petugas kesehatan belum datang di puskesmas, pernah suatu
saat pasien ingin ambil surat keterangan dokter , dokternya belum datang)
“ Itu saja waktunya telatki…”
(SH, 36 Tahun,
1, 29 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan telat datang ke puskesmas)
Berdasarkan
uraian diatas tergambar bahwa reliability petugas kesehatan di Puskesmas
Moncobalang mengenai ketelitian tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan sudah cukup teliti seperti
sebelum memeriksa pasien, petugas kesehatan terlebih dahulu menanyakan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Namun ada beberapa pasien tidak tau pasti tentang ketelitian petugas kesehatan.
Mengenai kemampuan petugas kesehatan menyampaikan informasi yang diberikan
tenaga kesehatan sehubungan dengan masalah kesehatan pasien bahwa pada umumnya
pasien diberi informasi masalah kesehatan mereka namun ada satu dua orang yang
merasa tidak diberi informasi. Mengenai prosedur pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan beberapa pasien diberi informasi kesehatan, dan
ada juga pasien tidak mendapat informasi mengenai masalah kesehatannya. Dan
mengenai tentang ketaatan tenaga kesehatan dengan waktu pelayanan tepat
berdasarkan hasil pengamatan langsung peneliti dan informan bahwa pelayanan di
puskesmas telat karena tidak sesuai dengan jam kerja.
3.
Persepsi
Masyarakat Tehadap Assurance Yang Dimiliki Oleh Puskesmas
Pertanyaan
mengenai assurance ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat
menyangkut tentang kesopanan dan sifat petugas yang dapat menimbulkan rasa aman
dan nyaman merasa bebas dari risiko.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai assurance diketahui bahwa umumnya
pasien merasa aman, hal ini sesuai dengan pernyataan berikut :
“Iya selalu
aman, karena saya tidak pernah mendengarkan informasi dari masyarakat kalau ada
gejolak-gejolak begini tidak ada istilahnya kata-kata yang tidak sopan dari
pelayanannya”
(FR, 53 Tahun,
2, 2 April 2012)
(menurut dari
informan bahwa pasien selalu merasa aman saat pelayanan kesehatan berlangsung.
Dan tidak pernah merasa ada kata-kata yang tidak sopan atau tidak baik dari
petugas kesehatan)
“Alhamdulillah
selama ini saya belum pernah lihat atau dengar ada gangguan dari luar dari sisi
keamanan seperti itu, kemudian masalah pengobatan juga saya anggap aman karena
saya belum melihat atau mendengar kalau disana tidak aman”
(AD, 49 Tahun,
2, 31 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa selama ini pasien belum pernah melihat atau mendengar ada yang
tidak aman dari sisi pelayan puskesmas dan untuk masalah pengobatan pasienpun
merasa aman)
Selain
itu ada juga informan yang menyatakan
belum merasa aman saat pelayanan berlangsung karena binatang-binatang masuk ke
halaman puskesmas. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Kalau masalah
keamanan menurut saya belum, karena disana bagaimana ya…? Mungkin masih butuh
dibenahi disana karena binatang-binatang disana masuk saja seperti kambing
masuk kedalam itu berak di dalam atau depan ruangan begitu. Karena fasilitasnya
sudah tua mau di renovasi”
(FT, 2O Tahun,
1, 3 April 2012)
(menurut
informan bahwa keamanannya belum aman karena pasien merasa terganggu dengan
binatang-binatang yang masuk ke halaman puskesmas seperti kambing, sehingga
pasien merasa tidak aman waktu pelayanan berlangsung)
“Tidak, karena
tidak ada anunya, seperti satpam tidak ada..”
(RW, 22 Tahun,
1, 26 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa di puskesmas tidak aman, karena keamanannya belum ada seperti
petugas keamanan seperti satpam)
Berdasarkan
hasil wawancara mengenai tentang kesopanan petugas kesehatan terhadap pelanggan
bahwa petugas kesehatan sopan santun semua. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut:
“Ya sopan–sopan
semua. Dia punya santun tidak ada masyarakat mengeluh disana bahwa masyarakat
dibentak-bentak disana”
(MZ, 57 Tahun,
2, 5 April 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan yang ada di puskesmas monconcobalang sopan
santun semua. Dan tidak pernah ada masyarakat yang dibentak-bentak disana)
“Sopan, dia kan
kita kalau masih diluar kt ajak obrol, dia juga senyum..”
(AB, 58 Tahun,
1, 24 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan sopan, hingga pasien diajak ngobrol dan diberi
senyum)
Selain
itu ada juga informan yang mengatakan petugas kesehatan ada yang sopan dan ada
juga yang cuek. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Ya…ada juga
sopan, dan ada juga yang cuek sama kita, karena biasa kita senyum senyum sama
dia toh, dia ambil mukami padahal saya bilang dalam hatiku sama-sama jeki
pegawai toh dia bekerja di puskesmas saya di sekolah to, apalagi itu di sekolah
tidak mungkin masuk di kesehatan kalau tidak sekolah di SD”
(SG,52 Tahun, 1,
22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan puskesmas orangnya ada yang sopan dan ada juga
yang cuek sama pasien. Karena pada saat pasien senyum, petugas kesehatan buang
muka. Pasien merasa kecewa apalagi pasien kebetulan seorang pegawai, yang cuma
membedakan tempatnya)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi pasien tentang pengetahuan
petugas kesehatan bahwa pengetahuan petugas kesehatan sudah baik dan
berpengalaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Ya,
pengetahuannya kayaknya itu maksudnya mungkin sudah berpengalaman sekali kalau
karena setiap saya berobat kesana ya
Alhamdulillah dikasi obat selama tiga hari sudah ada perubahan dalam kesehatan
saya toh”
(FD, 29 Tahun,
1, 21 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa pengetahuan petugas kesehatan sangat berpengalaman dan selalu
member informasi kepada pasien)
“Ya bagus, karena dia cepat mengetahui masalah
pasien”
(SR, 40 Tahun,
1, 7 April 2012)
(menurut
informan bahwa pengetahuan petugas kesehatan sangat berpengalaman dalam
bidangnya masing-masing dan selalu memberi
informasi masalah kesehatan sehubungan keluhan pasien)
Selain itu ternyata ada juga
informan yang mengatakan bahwa pasien tidak tau persis pengetahuan petugas
kesehatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Kalau
pengetahuannya saya tidak tau juga, karena jarang kesana”
(SG, 52 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa dia tidak tau pengetahuan petugas kesehatan yang ada di
puskesmas, karena pasien jarang ke puskesmas)
“Kalau saya juga kurang tau ya. Hehehe…”
(SL, 24 Tahun,
1, 4 April 2012)
(menurut
informan bahwa pasien kurang tau masalah pengetahuan petugas kesehatan yang ada
di puskesmas)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai
tentang tanggung jawab petugas kesehatan terhadap pasien bahwa petugas
kesehatan bertanggung jawab terhadap pasiennya dan waktu pelayanan kesehatan
pasien merasa terlayani apa yang diinginkan pasien. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Bertanggungjawab,karena
itu melayani apa yang diinginkan pasien
atau orang yang berkunjung kesana”
(AD, 49 Tahun,
2, 31 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan
bertanggungjawab, dan merasa terlayani apa yang diinginkan pasien)
“saya kira itu bertanggungjawab, karena
walaupun bagaimana itu tanggungjawab sebagai petugas kesehatan. Saya katakan
demikian karena itu memang tugas pokok. Jika dia tidak melayani berarti dia
tidak melayani tugasnya”
(FR, 53 Tahun,
1, 2 April 2012)
(menurut bahwa petugas kesehetan tentunya bertanggungjawab
atas segala pekerjaannya sebagai petugas kesehatan. Dan apabila petugas
kesehatan tidak melayani pasiennya maka dia tidak bertanggung jawab atas
pekerjaannya)
Dari uraian
diatas tergambar bahwa responsiveness petugas kesehatan terhadap pasien di
Puskesmas Moncobalang, sepenuhnya bisa dikatakan dalam kategori baik, karena
sebagian besar dari informan menyatakan sudah baik, namun ada juga informan
yang menyatakan sebaliknya, hal ini sesuai dengan apa yang dirasakan atau
dialami oleh informan itu sendiri.
4.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Emphaty Petugas Kesehatan
Emphaty
disini menyangkut kemampuan petugas kesehatan dalam memahami dan menempatkan
diri pada keadaan yang dihadapi oleh pasien meliputi, sikap petugas yang sabar
dan telaten dalam menghadapi pasien, memiliki rasa hormat dan bersahabat, mampu
memahami keadaan yang dialami oleh pasien dan petugas senantiasa memperlakukan
pasien dengan baik tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain.
Berdasarkan
hasil penelitian berikut mengenai persepsi tentang tenaga kesehatan dalam
memotivasi untuk mentaati anjuran dokter bahwa pasien di beri semangat dalam
minum obat. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Ia dikasi. Ia dikasi’ misalnya
kalau kita lagi malas-malas ya diskusi saran bagaimana caranya bisa . ya….
Begitu.”
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa apabila pasien lagi malas minum obat
maka pasien diskusi dengan petugas kesehatan untuk memberikan solusi tentang
bagaimana caranya minum obat yang baik)
“Dikasi semangat, paling tidak ada
aturan misalnya ini dimakan setiap hari apabila tidak makan ibu tidak cepat
sembuh”
(DM, 46 Tahun, 1, 9 April 2012)
(menurut informan bahwa pasien
diberi semangat dan untuk pengaturan minum obat ada tercantum berdasarkan resep
yang diberikan oleh dokter dan harus diminum secara teratur agar cepat sembuh)
Selain itu
ternyata ada juga informan mengatakan
bahwa petugas tidak memotivasi pasien dalam minum obat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan berikut:
“Tidak pernahji ada semangat…”
(SG, 52 Tahun, 1, 22 Maret 2012)
(menurut informan bahwa tidak
pernah ada motivasi dari petugas kesehatan dalam mengkonsumsi obat)
Berdasarkan
hasil wawancara mengenai kemampuan petugas kesehatan dalam memahami keadaan
yang dialami oleh pasien bahwa petugas kesehatan mengerti keadaan pasien. Hal
ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Iya mengerti keadaannya. Karena
misalnya kalau kita mengeluh masalah sakit . Memang begitu bu obat apa supaya
cepat sembuh”
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa petugas
kesehatan mengerti keadaan pasien saat mengeluhkan penyakitnya, dan pasien
berharap dari petugas kesehatan agar diberi obat untuk kesembuhan pasien)
“Karena kalau kita keluhkan sakit perut paling
tidak ditanya dulu apa penyebabnya,, dikasi’ pemahaman akibat dari begini”
(DM, 46 Tahun, 1, 9 April 2012)
(menurut informan bahwa apabila
pasien mengeluhkan penyakitnya, pasti pasien ditanya dengan petugas kesehatan
apa keluhan dari pasien)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai perhatian dan keramahan petugas
kesehatan pada saat menceritakan keluhan
penyakit pasien bahwa petugas kesehatan sudah baik, sudah ramah dan bersahabat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Dia sudah baik disitu, sudah ramah
apa lagi sudah termasuk keluarga disitu…”
(AB, 58 Tahun, 1, 24 Maret 2012)
(menurut informan bahwa petugas kesehatan sudah baik, sudah
ramah apalagi petugas kesehatannya sudah termasuk keluarga)
“Ramah. Ramah…dia menerima dengan ramah karena
memang cara melayani kita cukup simpatik, bersikap ramah. Hehe”
(DM, 46 Tahun, 1, 9 April 2012)
(menurut informan petugas kesehatan orangnya ramah, apalagi
dalam melayani pasien cukup simpatik)
“Orangnya peramah dan bersahabat sekali bagi
saya karena maksudnya dekat sama kita’ toh, yang memberikan anjuran semua”
(FD, 29 Tahun, 1, 21 Maret 2012)
(menurut informan bahwa petugas kesehatan orangnya peramah dan bersahabat )
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai persepsi pasien tentang sikap dan
tindakan petugas kesehatan yang ada di ruang KB, Kartu, Obat, KIA , bagian
pelayanan bahwa sikap dari petugas kesehatan baik-baik semua. Hal ini sesuai
dengan pernyataan berikut:
“Itumi saya bilang sikap-sikapnya
baek-baek semua. Baik di pengambilan kartu, obat, dan dokter yang memeriksa
saya”
(AD, 49 Tahun, 2, 31 Maret 2012)
(menurut dari informan diatas bahwa
sikap petugas kesehatan yang ada di ruang KB,KIA, gigi, gizi, kartu, dan
obat orangnya baik-baik semua)
“Semuanya baek, semuanya bagus. Setiap kita
datang cepat dilayani, suda dilayani ini dibawa keruang ini, ini dibawa keruang
ini. Begitu seterusnya..”
(MA,64 Tahun, 1, 19 Maret 2012)
(menurut informan bahwa,petugas
kesehatan sudah dilayani dengan baik)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
dari informan mengenai emphaty petugas kesehatan, maka dapat diketahui bahwa
antara informan yang satu dengan yang lainnya berbeda pendapat, hal ini wajar
karena tidak semua informan diperlakukan sama pada saat mereka memanfaatkan
pelayanan kesehatan di puskesmas.
5.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Tangible Yang Dimiliki Oleh Puskesmas
Pertanyaan
mengenai tangible bertujuan untuk mengetahui pendapat pasien menyangkut
penampilan fasilitas fisik dengan perlengkapan, penampilan petugas, kenyamanan
dan kebersihan lingkungan dan ruangan
serta peralatan yang digunakan.
Berdasarkan
hasil wawancara mengenai kebersihan dan kenyamanan ruang tunggu bahwa
kebersihan harus di perhatikan dan kenyamanan ruang tunggu pasien merasa kurang nyaman karena di ruang
tunggu terasa panas karena kurang penghijauan dan ruangan terasa sempit. Hal
ini sesuai dengan pernyataan berikut ;
“Kalau tentang
kebersihan perlu di perhatikan dan dilaksanakan karena dia kan sifatnya diliat
langsung di lapangan. Kalau kenyamanan di ruang tunggu tidak memenuhi
persyaratan, pasien menunggu diluar, di teras-teras. Karena tidak memenuhi
persyaratan untuk ruang tunggu pasien contoh tidak memenuhi. Saya katakan
kurang karena saya liat di lingkungan kurang bersih itu istilahnya penghijauan
masih kurang”
(FR, 53 Tahun,
2, 2 April 2012)
(menurut
informan bahwa kebersihan puskesmas perlu di perhatikan karena sifatnya dilihat
langsung di lapangan. Dan untuk ruangan belum memenuhi persyaratan, sehingga
banyak pasien yang menunggu di teras-teras puskesmas)
“Kurang nyamangi iya disitu. Karena itu
sampaya didepanki ada lagi anu asena (kotoran padi), WC nya juga bussuki semua”
(RW, 22 Tahun,
1, 26 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa ruang tunggu kurang
nyaman, karena sampah berserakan di depan puskesmas dan banyak kotoran padi, WC
nya pun baunya busuk sekali)
Selain itu
ternyata ada juga informan yang mengatakan bahwa rumput-rumput yang ada di luar puskesmas tidak pernah
dibersihkan dan pekarangannya sempit. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Kalau
kebersihannya disana itu cuma diluar area puskesmas rumput-rumput tidak pernah
dibersihkan , cumin bagian dalam bersih. Tidak seperti disekolah ada bujangnya”
(MZ, 57 Tahun,
2, 5 April 2012)
(menurut
informan bahwa kebersihan di puskesmas , rumput-rumputnya tidak pernah
dibersihkan, karena tidak ada bujangnya, beda halnya dengan ada di sekolah)
“Masalahnya
disana Cuma sempitnyaji disana karena belum luas pekarangan dan kenyamanannya”
(SR, 40 Tahun,
1, 7 April 2012)
(menurut
informan bahwa ruangan terasa sempit dan
pekarangannya tidak luas)
Ada juga
informan yang mengatakan bahwa ruangannya tidak panas, dan udaranya dingin. Hal
ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Baik. Baik
perasaan, tapi kalau banyak pasien pasti kita rasakan panas karena antri. Tapi
kalau hari-hari biasaji baek sekaliji.Karena tidak panasji baek hawa disitu.”
(AB, 58 Tahun,
1, 24 maret 2012)
(menurut
informan bahwa perasaannya enak karena
ruangannya bersih dan nyaman, tapi apabila banyak pasien pasti terasa panas.
Tetapi kalau hari-hari biasa pasien merasa baik dan tidak merasa panas)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai kenyamanan di ruang periksa dan
ruangan lainnya bahwa pasien merasa nyaman dan aman karena ada kipas angin dan begitu juga dengan
di ruangan obat. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Baik ji, itu di ruang
periksa karena, adaji kipas angin kecil itu di meja dokter. Karena nyamanji
duduk di depan dokter.”
(SG, 52 Tahun,
1, 22 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa kenyamanan di ruang
periksa sudah baik, karena ada kipas angin kecil di meja dokter, dan pasien
merasa nyaman duduk di depan dokter)
“Eee… diruang periksa juga aman, tenang,
ee…amannya itu biasa itu kita diperiksa tidak ada ribut-ribut jadi tenang,
amang”
(MA, 64 Tahun,
1, 19 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa di ruang periksa terasa aman kalau diperiksa dengan dokter, dan
terasa tenang tidak ada yang ribut-ribut)
Selain itu
ternyata ada juga informan mengatakan ruang periksa terasa sempit dan panas
sehingga pasien tidak merasa nyaman di ruang periksa. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Sempitki…iya
sempitki. Diluar kalau menungguki panaski, apa lagi kalau menungguki di depan”
(RW, 22 Tahun,
1, 26 Maret 2012)
(menurut
informan bahwa ruangan periksa terasa sempit dan apabila pasien menunggu
diluar, pasti merasa panas).
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai
penampilan dokter petugas kesehatan mengenai kebersihan dan kerapihan bahwa
penampilan petugas kesehatan kelihatan bersih dan rapi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Kalau bagian
dokternya saya liat itu bersih,pegawai-pegawainya juga bersih di ruang obat
juga begitu bersih rapi juga tawwa. Biasalah kalau pegawai tidak ada
bercak-bercak noda disana tidak ada.”
(FT, 20 Tahun,
1, 3 April 2012)
(menurut
informan bahwa dalam penampilan dokter dan pegawainya kelihatan bersih, tidak
ada bercak-bercak noda yang ada di baju dokter dan pegawainya)
“Kalau
penampilan saya kira cukup bagus karena dia selalu memakai pakaian bagus, dan
dari segi kebersihan bagus saya katakana bersih seringkali saya liat bagus
penampilannya”
(FR, 53 Tahun,
2, 2 April 2012)
(menurut
informan bahwa petugas kesehatan di
puskesmas cukup bagus karena sering memakai pakaian bagus begitupun penampilannya
bagus)
Selain itu ternyata ada juga
informan yang menyatakan petugas kesehatan tidak memakai sepatu di dalam
ruangan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Ya… kalau kita
liat memang rapi, tapi biasanya kalau didalam tidak pakemi sepatu, Cuma pake’
sandal , pakaiannya rapi tapi pake sandal”
(MZ, 57 Tahun,
2, 5 April 2012)
(menurut
informan bahwa pada dasarnya petugas kesehatan sudah rapi, tapi kalau didalam
ruangan petugas kesehatan memakai sandal bukan sepatu)
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai peralatan yang digunakan petugas
kesehatan dalam memeriksa pasien bahwa alat yang digunakan petugas kesehatan
sudah bagus dan sesuai sebagaimana mestinya dan
tidak menyakitkan di badan pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut:
“Alatnya bagus
tidak menyakitkan di pasien”
(SR, 40 Tahun,
1, 7 April 2012)
(menurut
informan bahwa alat yang dipakai petugas kesehatan sudah bagus dan merasa
nyaman kalau diperiksa)
“Alatnya sudah bagus dia, karena sesuai dengan
alat periksa”
(MN, 48 Tahun,
1, 4 April 2012)
(menurut
informan bahwa alat yang dipakai petugas kesehatan sudah bagus karena sesuai
alat yang digunakan pada saat pasien memeriksakan diri)
Selain itu ada
juga informan menyatakan bahwa alat-alat
yang digunakan petugas kesehatan terbatas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
sebagai berikut:
“Mungkin masih
bisa dilengkapi kalau alat-alatnya karena kana lat-alatnya terbatas. Cuma
timbangan anak-anak bertahun-tahun
dipake’ disana begitu juga di gigi karena tidak sesuai”
(FT, 20 Tahun,
1, 3 April 2012)
(menurut
informan bahwa alat alat yang digunakan petugas kesehatan alatnya terbatas,
sehingga hanya alat-alat itu saja yang digunakan pasien, seperti halnya dengan
timbangan)
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam mengenai tangible yang dimilki oleh puskesmas, didapatkan ternyata
dalam hal ini puskesmas masih banyak yang perlu dibenahi, baik itu kebersihan,
keamanan, bangunan, sarana dan prasarana, agar dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan menjadi lebih baik kedepannya.
6.
Pelayanan
Kesehatan Terbaik Apa Yang Pernah Pasien
Peroleh Dari Puskesmas Moncobalang
Tuntutan
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu semakin berkembang
sejalan dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan
masyarakat. Di pihak pemberi pelayanan kesehatan tuntutan masyarakat untuk
mendapat pelayanan bermutu ditanggapi dengan melakukan reformasi kesehatan.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam mengenai pelayanan yang terbaik yang pernah pasien
peroleh di puskesmas moncobalang bahwa pasien merasa dilayani dengan baik ,
selalu member semangat kepada pasien, cepat melayani dan petugas kesehatannya
ramah-ramah. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Pelayanan yang paling baik,
penerimaannya yang ramah, merasa tenang, ketika ia dilayani dengan baik paling
tidak bisa mengurangi penyakit”
(DM, 46 Tahun, 1, 9 April 2012)
(menurut informan bahwa petugas
kesehatan dalam hal peneriamaan pasien . pasien merasa disambut dengan ramah
dan dilayani dengan baik)
“Waktu saya hamil dilayani dengan
baik, kalau ada keluhan dikasi semangat bilang begini-begini dalam memasuki ibu
baru kan”
(SL, 24 Tahun, 1, 4 April 2012)
(menurut informan bahwa saat pasien
lagi hamil pasien merasa dilayani dengan baik dan selalu memberi semangat
kepada pasien)
Ada juga
informan yang mengatakan bahwa tidak pernah merasakan pelayanan yang baik dari
puskesmas. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Tidak ada pernah ada yang baik.
Samaji…”
(SG, 52 Tahun, 1, 22 Maret 2012)
(menurut informan bahwa tidak pernah
ada pelayanan yang baik di puskesmas, semuanya terasa sama seperti biasanya).
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan dari informan mengenai pelayanan yang terbaik pasien
dapatkan di puskesmas, maka dapat diketahui bahwa antara informan satu dengan
yang lainnya berbeda pendapat, hal ini wajar karena tidak semua informan
mendapatkan pelayanan terbaik dari puskesmas.
7.
Persepsi
Masyarakat Mengenai Pelayanan Kesehatan
Terburuk Yang Pernah Pasien Peroleh Dari Puskesmas
Strategi
untuk menghasilkan produk dan jasa pelayanan kesehatan yang bermutu tidak
selamanya berjalan dengan baik dan tidak
sesuai dengan harapan yang diinginkan pasien. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan mengenai pelayanan terburuk apa yang pernah pasien
peroleh dari puskesmas bahwa belum pernah ada pasien yang merasakan pelayanan
buruk di puskesmas baik dalam segi pelayanan maupun ketidaksopanan petugas
kesehatan terhadap pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:
“Secara pribadi saya tidak pernah
mendapatkan kejelekan disana, pasti kalau ada jeleknya saya pasti marah, tapi
saya tidak pernah marah karena diperiksa dengan baik sampai selesai”
(AB, 58 Tahun, 1, 24 Maret 2012)
(menurut informan bahwa secara
pribadi pasien tidak pernah mendapatkan pelayanan terburuk dari puskesmas.
Pasien merasa selalu dilayani dengan baik)
“Tidak pernah saya tersinggung dan lain-lain
tidak ada juga keluhan masyarakat, bilang begini-begini..”
(MZ, 57 Tahun, 2, 5 April 2012)
(menurut informan bahwa pasien
tidak pernah dikecewakan dan masayarakat tidak pernah ada yang mengadu tentang
keburukan dari puskesmas)
Selain itu
ternyata ada juga informan menyatakan bahwa pasien pernah mendapatkan pelayanan
terburuk tapi pasien Cuma merasakannya di pustu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan berikut:
“Pelayanan terburuk ada tapi cuma
di pustu, tapi kalau di puskesmas moncobalangbaik, tidak ada terjelek disitu”
(FD, 29 Tahun, 1, 21 Maret 2012)
(menurut informan bahwa pasien
tidak pernah mendapatkan pelayanan terburuk dari Puskesmas Moncobalang, tetapi pasien
hanya mendapat pelayanan buruk dari Puskesmas Moncobalang yakni Puskesmas
Pembantu)
Dari uraian
diatas tergambar, maka dapat diketahui bahwa pada dasarnya tidak ada informan
yang mendapat pelayanan terburuk di puskesmas. Namun ada informan yang mengatakan
bahwa salah satu pustu dari puskesmas moncobalang sangatlah buruk.
8.
Persepsi
Masyarakat Mengenai Yang Perlu Dibenahi Dari Puskesmas Untuk Meningkatkan Mutu
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan
kesehatan akan dirasakan berkualitas oleh para pelanggannya jika penyampaiannya
dirasakan melebihi harapan para pengguna layanan. Penilaian para pengguna jasa
pelayanan ditujukan kepada penyampaian jasa dan kualitas pelayanan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengenai yang perlu dibenahi dari puskesmas
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bahwa yang harus dibenahi dari
pihak puskesmas adalah penambahan tenaga kesehatan, kebersihan lingkungan,
penghijauan, keamanan harus dijaga, fasilitas-fasilitas puskesmas seperti
alat-alat medis perlu ditambah, ruang tunggu harus diperbaiki, puskesmas
pembantu harus dibenahi, ruangan periksa agar kiranya diperluas dan pasien
berharap agar petugas kesehatan tepat waktu datang ke puskesmas. Hal ini sesuai
dengan pernyataan informan sebagai berikut:
“Ya, alatnya mungkin masih kurang
lengkap, itu pagar-pagarnya yang di luar belum ada dibelakang. Kalau ruangannya
masih mau ditambah”
(JF, 58 Tahun, 19 Maret 2012)
(menurut informan bahwa alat-alat
yang ada di puskesmas masih kurang, pagar puskesmas belum ada, ruangannya perlu
ditambah)
“Yang perlu ditingkatkan penambahan personil,
alat-alat
kesehatan, tingkat kebersihan,
penghijauan dan keamanan pagar”
(FR, 53 Tahun, 2, 2 April 2012)
(menurut informan bahwa yang perlu
ditingkatkan dari pihak puskesmas adalah penambahan tenaga kesehatan,
penambahana alat-alat kesehatan, perlunya penghijauan dan pagar puskesmas)
“Tempatnya mau dikasi’ luas supaya pasien
tidak panas..”
(SR, 40 Tahun, 1, 9 April 2012)
(menurut informan bahwa
ruangan-ruangan yang ada di puskesmas agar kiranya di perluas sesuai dengan
ruangan-ruangan yang memenuhi standar agar pasien tidak merasa kepanasan)
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam mengenai yang perlu dibenahi dari pihak puskesmas,
didapatkan ternyata dalam hal ini puskesmas masih banyak yang perlu dibenahi.
Agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik.
A.
Pembahasan
Mutu
pelayanan kesehatan adalah mutu yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang di satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap
pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Mutu pelayanan sangat
objektif tergantung persepsi sistem nilai dan latar belakang sosial,
pendidikan, ekonomi, budaya, dan faktor-faktor lainnya. Bagi pasien mutu
pelayanan yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, kecepatan
pelayanan, kepuasan terhadap lingkungan fisik, mutu pelayanan yang buruk lebih
disebabkan oleh perawat yang bermuka cemberut, betapapun cekatannya dan
profesionalnya perawat tersebut dalam memberikan pelayanan.
Persepsi
pasien tentang mutu pelayanan merupakan perbandingan antara harapan sebelum dan
sesudah menerima asuhan yang sebenarnya, karena pengguna pelayanan kesehatan
tercermin di dalam harapannya tentang kualitas pelayanan yang diinginkan ketika
menerima pelayanan kesehatan. Apabila pelayanan yang diterima atau dirasakan
(perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang
dpersepsikan baik dan memuaskan.
Jika
pelayanan yang diterima melampaui harapan pasien, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari
pada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan
demikian baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia
pelayanan kesehatan dalam memenuhi harapan pasien secara konsisten.
Dengan
kata lain mutu pelayanan dinilai apakah memenuhi harapan pasien atau tidak,
apabila harapan terpenuhi hal itu dirasakan memuaskan. Adapun variabel yang
digunakan terhadap penilaian mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Moncobalang
adalah:
1.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Responsiveness Petugas Kesehatan
Responsiveness
yaitu kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan kesiapannya melayani
sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan. Dimensi ini merupakan
penilaian mutu yang paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan
pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan
teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dan observasi dapat diketahui bahwa responsiveness
petugas kesehatan menurut persepsi masyarakat menunjukkan bahwa responsiveness
petugas kesehatan di puskesmas bisa dikatakan dalam kategori baik, karena
sebagian besar dari informan menyatakan bahwa prosedur pelayanan kesehatan yang
ada di puskesmas sudah baik dan pasien merasa sudah dijelaskan tentang prosedur
pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas. Namun sebaliknya ada juga beberapa
informan yang mengatakan bahwa petugas kesehatan dalam memberikan prosedur
pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya tahu tentang prosedur apa yang diberikan
oleh petugas kesehatan, hal ini sesuai dengan apa yang dirasakan atau dialami
oleh informan itu sendiri. Semua informan merasa petugas kesehatan cepat
menanggapi pasien ketika pasien datang di Puskesmas, dan pada saat pasien
menceritakan keluhannya, pasien merasa cepat ditanggapi begitupun kesiapan dan
kemauan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, informan
mengatakan bahwa petugas kesehatan terlalu siap melayani pasien dan pasien
mendapatkan pelayanan yang baik.
Hubungan
responsiveness dengan kepuasan konsumen. yaitu respon atau kesiapan karyawan
dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tangap, yang
meliputi kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani
transaksi serta penanganan keluhan pelanggan.
Menurut
Parasuraman. Dkk. 1998 (lupiyoadi & Hamdani, 2006 : 182) daya tanggap
(responsiveness) yaitu suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan
yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi
yang jelas. Dan membiarkan konsumen menunggu merupakan persepsi yang negative
dalam kualitas pelayanan.
Berdasarkan
banyak studi yang dilakukan, ada satu hal yang sering membuat pelanggan kecewa,
yaitu pelanggan sering dipersulit saat membutuhkan informasi. Dari staf yang
satu ke staf yang lain kemudian staf yang lain tidak mengetahui atau menjawab
hal apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sunguh pelayanan yang tidak tanggap dan
pasti akan membuat pelanggan merasa tidak puas. Daya tanggap / ketanggapan yang
diberikan oleh perusahaan dengan baik akan meningkatkan kepuasan yang dirasakan
oleh konsumen. Sedangkan atribut - atribut yang ada dalam dimensi ini adalah
(Pasuraman, 2005) dalam Ramdan (2008):
a. Memberikan
palayanan yang cepat.
b. Kerelaan
untuk membantu / menolong konsumen.
c. Siap
dan tanggap untuk menangani respon permintaan dari para konsumen.
Hubungan daya
tanggap dengan kepuasan konsumen adalah daya tanggap mempunyai pengaruh positif
terhadap kepuasan konsumen. Semakin baik persepsi konsumen terhadap daya
tanggap perusahaan maka kepuasan konsumen juga akan semakin tinggi. Dan jika
persepsi konsumen terhadap daya tanggap buruk maka kepuasan konsumen juga akan
semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2006) menyebutkan bahwa
variable compliance, assurance, tangible, reliability, responsiveness, empathy
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan.
2.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Reliability Petugas Kesehatan.
Reliability yaitu kemampuan petugas kesehatan untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang
ditawarkan (seperti dalam brosur). Kinerja harus sesuai dengan harapan
pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpati
dan dengan akurasi yang tinggi. Sehingga keterampilan, kemampuan dan penampilan
dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan sesuai dengan apa yang ditetapkan
sehingga menimbulkan rasa percaya pasien terhadap pelayanan yang diberikan.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dan observasi bahwa reliability petugas kesehatan
menurut persepsi masyarakat menunjukkan rata-rata informan mengatakan bahwa
reliability petugas kesehatan sudah
baik, bahkan sudah memenuhi harapan pasien, dan sebaliknya ada juga informan
yang menyatakan bahwa realibility petugas kesehatan masih kurang bermutu, baik
itu dalam menyampaikan informasi masalah kesehatan yang dialami pasien, dan
petugas kesehatan memberikan pelayanan
kesehatan tidak tepat waktu.
Pertama adalah
mengenai ketelitian petugas kesehatan dalam bekerja rata-rata informan
mengatakan petugas kesehatan teliti dalam bekerja (dalam hal ini dokter),
karena sebelum memeriksa pasien, dokter bertanya apa keluhannya, kemudian
diperiksa .Ada sebagian informan mengatakan bahwa pasien tidak mengetahui
ketelitian petugas kesehatan dalam bekerja, pasien hanya merasa dilayani dengan
baik. Kedua adalah masalah kemampuan
petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi yang diberikan tenaga kesehatan
sehubungan dengan masalah kesehatan pasien, dalam hal ini rata-rata informan
mengatakan petugas kesehatan sering menyampaikan masalah kesehatan sehubungan
dengan masalah kesehatan yang dialami pasien, namun tidak semua informan diberi
informasi masalah kesehatan pasien bahwa petugas kesehatan tidak pernah memberi
informasi masalah sehubungan kesehatan pasien. Ketiga mengenai tentang prosedur
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan rata-rata informan
mengatakan bahwa petugas kesehatan mengajari atau memberi tahu kepada pasien tentang prosedur pelayanan
kesehatan yang ada di puskesmas dan pasien mengerti tentang prosedur pelayanan
kesehatan yang ada di puskesmas.
Namun ada juga
informan yang mengatakan bahwa pasien tidak pernah di ajar masalah prosedur pelayanan
kesehatan yang ada di puskesmas. Keempat adalah
Masalah ketaatan petugas kesehatan dengan waktu pelayanan yang telah
ditentukan sebagian informan mengatakan petugas kesehatan melayani dengan tepat
waktu dan merasa cepat dilayani tetapi rata-rata informan mengatakan bahwa
petugas kesehatan tidak tepat waktu pada waktu jam pelayanan kesehatan dimulai,
hal ini menyebabkan munculnya rasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan.
Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Samsul Alam (2005) di RSUD Nene’ Mallomo
Kabupaten Sidrap menyatakan bahwa ketidakpuasan pasien terhadap pemeriksaan
dokter terhadap penyakit pasien disebabkan karena dokter/perawat dalam
menangani pasien tidak serius tidak teliti, dan tidak cukup waktu untuk
berkonsultasi, sehingga waktu pemeriksaan terbatas dan terkesan tergesa-gesa.
Menurut Azwar (1996) bahwa mutu pelayanan kesehatan yang satu pihak dapat
menimbulkan kepuasan pada setiap pasien dengan tingkat kepuasan dengan tingkat
kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya,
sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
Yang kedua
penyampaian informasi masalah kesehatan pasien merupakan hal yang seharusnya
dilakukan oleh dokter setelah memeriksa pasien, karena setelah diperiksa dokter
langsung memberikan resep obat, hal ini merupakan pernyataan informan yang
kurang puas terhadap informasi yang disampaikan.
Namun ada juga
informan yang puas karena masyarakat/pasien yang datang ke Puskesmas untuk
mengetahui penyakit apa yang dideritanya, setelah diperiksa dokter menjelaskan
hasil diagnosanya dan bagaimana cara mencegahnya, agar tidak bertambah parah.
Menurut Djoko
Wijono (1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien yang
berjalan dengan baik akan menanamkan kepercayaan dan kredibiltas dipihak pasien
yang pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan setelah berinteraksi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Eko Haryanto tahun 1996 (dalam Surahmawati 2004) bahwa
dalam organisasi yang bergerak di bidang jasa seperti Puskesmas, komunikasi
antar petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu keharusan. Kejelasan ini
mempunyai banyak manfaat, misalnya membangun kemampupahaman antara petugas
dengan pasien serta menjamin ketepatan pelayanan yang harus diterima oleh
pasien, sehingga dapat membantu kesuksesan organisasi dalam hal ini puskesmas
termasuk tingkat pemanfaatannya.
Yang ketiga,
ketepatan dalam memberikan pelayanan. Pernyataan informan yang menyatakan bahwa
pelayanan di puskesmas dimulai tepat waktu, petugas sudah ada dan melayani
pasien masyarakat/pasien yang datang berobat. Hal tersebut untuk menghindari menumpuknya pasien yang dapat
menghambat proses pelayanan. Sedangkan informan yang menyatakan bahwa pelayanan
yang berikan petugas kesehatan selalu terlambat, apalagi dibagian pemeriksaan,
pasien harus menunggu lama untuk diperiksa. Hal ini dikarenakan adanya
kepentingan lain dari dokter/petugas kesehatan yang membuat mereka datang
terlambat.
Menurut Sondang P. Siagian (1998),
bahwa banyak tidaknya waktu yang digunakan untuk mendapatkan pelayanan adalah
salah satu cerminan efektivitas tidaknya organisasi dalam memberikan pelayanan
menyebabkan pelayanan harus menghabiskan waktu yang lebih dari seharusnya. Bila
ini harus terjadi dalam organisasi pelayanan kesehatan seperti puskesmas, maka
dapat mengurangi pemanfaatannya. Hal ini didukung juga oleh penelitian
Surahmawati pemanfaatannya. Hal ini didukung juga oleh penelitian Surahmawati
(2004) di Puskesmas Mangasa Makassar menilai bahwa tingkat kewajaran waktu
menunggu tersebut merupakan jawaban interaksi antara kepentingan pasien disatu
pihak dan kewajiban petugas kesehatan sebagai pelaksana teknis pelayanan medik
dipihak lain.
Ketepatan waktu
dalam memberikan pelayanan merupakan hal yang harus diperhatikan dan
meningkatkan kedisiplinan. Namun lain halnya dengan prosedur pelayanan
puskesmas karena semua informan menyatakan bahwa prosedur pelayanannya sangat
sederhana dan tidak berbelit-belit, sehingga memudahkan pasien untuk
mendapatkan pelayanan.
Menurut Supranto
(1997) menyatakan bahwa untuk mengetahui kepuasan pasien dapat dilihat dari
prosedur pelayanan yang cepat, tidak berbelit-belit dan menghasilkan kualitas
kerja yang memuaskan pasien. Hal ini didukung dengan pendapat Tenner De Toro
1992 (dalam Samsul Alam, 2005) yang menyebutkan bahwa nilai mutu yang paling
mudah dipahami dari suatu barang/jasa pelayanan adalah cepat (faster), bahwa
bagaimana suatu produk atau jasa dapat diperoleh secara cepat, mudah dan
menyenangkan.
Secara
keseluruhan persepsi masyarakat
reliability petugas kesehatan pada kategori baik. Hal ini menunjukkan
bahwa kehandalan yang ditampilkan oleh petugas pelayanan yang baik, dalam hal
ini ditinjau dari pengguna jasa diman dimana dari cara pandang customer lebih
terkait pada dimensi ketanggapan petugas dalam memenuhi kebutuhan (need)
pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, dan ketepatan waktu dalam
memberikan penjelasan tentang penyakit dan keluhan pasien dengan baik serta
memberikan anjuran yang harus diberikan dalam menjaga kesehatan yang berkaitan
dengan penyakitnya, sehingga pasien memiliki persepsi/tanggapan bahwa mutu
pelayanan baik.
Dalam hal ini
mutu pelayanan ditinjau dari pengguna pelayanan kesehatan dimana dari cara
pandang customer lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas dalam memenuhi
kebutuhan (need) pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, dan
ketetapan waktu dalam memberikan pelayanan, sehingga persepsi pasien dengan
kenyataan yang diterima tidak besar kesenjangannya. Hal ini sesuai dengan Parasuraman
(1990) bahwa kualitas pelayanan yang dipersepsikan oleh pelanggan didefinisikan
sebagai seberapa besar kesenjangan antara persepsi pelanggan atau kenyataan
pelayanan yang diterima dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan
yang diterima dengan kata lain pelanggan sangat mengharapkan kepuasan dalam
menerima pelayanan, sehingga perlu peningkatan kualitas pelayanan yang menarik
pelanggan.
Berbeda dengan
hasil penelitian Husnani (2000) di Rumah Sakit Umum Daerah Nene’ Mallomo
Kabupaten Sidrap yang menyatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan tidak
tergantung dari handal tidaknya petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan, karena terkadang pasien merasakan pelayanan kesehatan bermutu
meskipun pelayanan kesehatan tidak handal. Diungkap oleh Azwar (1996) bahwa
kehandalan dapat berwujud jika tenaga kesehatan mampu untuk memberikan
pelayanan paripurna yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendorong
(predipossing), pemungkin (enabling), dan kebutuhan (need) dalam keputusan
untuk menggunakan sejumlah tempat pelayanan kesehatan yang tersedia.
3. Persepsi Masyarakat
Terhadap Assurance Petugas Kesehatan
Assurance
yaitu kriteria ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas
yang dapat dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan ini
akan mengakibatkan pengguna jasa merasa
terbebas dari risiko. Berdasarkan riset, dimensi ini meliputi faktor
keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dan observasi dapat diketahui assurance petugas
kesehatan rata-rata informan mengatakan bahwa
masalah keamanan dalam pelayanan kesehatan di puskesmas pasien merasa
aman karena pasien merasa aman waktu pelayanan kesehatan berlangsung dan ada juga
beberapa informan mengatakan keamanan pelayanan kesehatan tidak aman
karena waktu jam pelayanan pasien merasa
terganggu dengan binatang-binatang yang masuk ke halaman puskesmas dan petugas
keamanan tidak ada di puskesmas.
Masalah
kesopanan petugas kesehatan rata-rata informan mengatakan bahwa petugas
kesehatan sopan santun semua terhadap pasiennya dan ada juga salah satu
informan mengatakan petugas kesehatan cuek dan mengenai masalah pengetahuan
petugas kesehatan beberapa informan mengatakan bahwa petugas kesehatan sangat
berpengalaman dan selalu member informasi masalah kesehatan yang dialami pasien
dan rata-rata informan mengatakan bahwa pasien tidak mengetahui masalah
pengetahuan petugas kesehatan dan
mengenai tanggung jawab petugas kesehatan informan mengatakan bahwa semua
informan mengatakan bahwa semua petugas kesehatan bertanggung jawab terhadap
pasiennya karena pasien merasa tugas pokok petugas kesehatan adalah melayani
pasiennya dengan baik.
Hubungan
Assurance dengan Kepuasan Konsumen
Kotler (2001:617) mendefinisikan
keyakinan (assurance) adalah
pengetahuan terhadap produk secara tepat, kesopansantunan karyawan dalam member
pelayanan, ketrampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam
memberikan keamanan dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan dan
keyakinan pelanggan terhadap perusahaan. Menurut Parasuraman. Dkk. 1998
(Lupiyoadi & Hamdani, 2006 : 182) yaitu meliputi kemampuan karyawan
atas pengetahuannya terhadap produk secara tepat, keramahtamahan,
perhatian dan kesopanan, ketrampilan dalam memberikan informasi,
kemampuan dalam memberikan keamanan dalam memanfaatkan jasa yang
ditawarkan dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap
perusahaan, sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya,
resiko atau pun keraguan. Pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan
para pegawai perusahaan dapat menumbuhkan rasa percaya para pelanggan
kepada perusahaan. Atribut-atribut yang ada dalam dimensi ini adalah
(Parasuraman , 2005) dalam Ramdan (2008):
a. Karyawan
yang memberi jaminan berupa kepercayaan diri kepada konsumen
b. Membuat
konsumen merasa aman saat menggunakan jasa pelayanan perusahaan
c. Karyawan
yang sopan
d. Karyawan
yang memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat menjawab pertanyaan dari
konsumen
Jaminan (assurancce) yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan para
pegawai objek wisata dalam melayani kebutuhan pelanggan, etika para pegawai,
dan jaminan keamanan dari perusahaan atas pelanggan saat berkunjung ke objek
pariwisata. Adanya jaminan keamanan dari suatu perusahaan akan membuat
pelanggan merasa aman dan tanpa ada rasa ragu-ragu untuk melakukan rekreasi,
disamping itu jaminan dari suatu perusahaan pariwisata akan berpengaruh pada
kepuasan konsumen karena apa yang diinginkan pelanggan dapat dipenuhi oleh
perusahaan yaitu dengan pengetahuan dan ketrampilan dari pegawai objek wisata
tersebut. Kesopanan dan keramahan dari pegawai objek wisata akan membuat
pelanggan merasa dihargai sehingga mereka puas dengan pelayanan yang diberikan
oleh perusahaan.
Hubungan jaminan dengan kepuasan
konsumen adalah jaminan mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen.
Semakin baik persepsi konsumen terhadap jaminan yang diberikan oleh perusahaan
maka kepuasan konsumen juga akan semakin tinggi. Persepsi konsumen terhadap
jaminan yang diberikan oleh perusahaan buruk maka kepuasan konsumen juga akan
semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan ( 2006 ) menyebutkan bahwa
variable compliance, assurance,
tangible, reliability, responsiveness,
empathy berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan.
4. Persepsi Masyarakat
Terhadap Emphaty petugas kesehatan
Emphaty
meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian
pribadi dan memahami kebutuhan para
pasien. Disamping itu emphaty dapat
diartikan sebagai harapan pasien yang dinilai berdasarkan kemampuan petugas
dalam memahami dan menempatkan diri pada keadaan yang dihadapi atau yang
dialami pasien. Sikap petugas yang sabar dan telaten dalam menghadapi pasien
cukup memberikan harapan yang baik kepada pasien, disamping itu petugas
memiliki rasa hormat, bersahabat, memahami keadaan yang dialamipasien dengan
baik merupakan harapan para pasien. Emphaty diyakini berpengaruh terhadap hasil
komunikasi dalam berbagai tipe dari hubungan-hubungan sosial kita sehari-hari,
tanpa emphaty komunikasi diantara petugas
kesehatan dengan pasien akan kekurangan kualitas pelayanan kesehatan. Emphaty
yakni peduli, memberi perhatian pribadi dengan pasien atau dengan kata lain
kemampuan untuk merasakan dengan tepat perasaan orang lain dan untuk
mengkomunikasikan pengertian ini kepada orang tersebut.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam rata-rata informan mengatakan bahwa petugas kesehatan selalu member
semangat atau memotivasi pasien untuk mentaati anjuran dokter dalam meminum
obat dan ada satu informan merasa tidak diberi motivasi dalam meminum obat.
Yang kedua yakni masalah kemampuan petugas kesehatan dalam memahami keadaan
yang dialami oleh pasien rata-rata semua informan mengatakan bahwa petugas
kesehatan mengerti keadaan pasien pada
saat pasien mengeluhkan penyakitnya dan pasien merasa cepat ditanggapi oleh
petugas kesehatan. Yang ketiga adalah mengenai perhatian dan keramahan petugas
kesehatan pada saat pasien menceritakan keluhannya rata-rata informan
mengatakan bahwa petugas kesehatan sudah baik, ramah, simpatik dan bersahabat
dalam melayani pasien. Yang keempat adalah mengenai sikap dan tindakan petugas
kesehatan terhadap pasien yang ada di ruang BP, KIA, gizi, kartu, ruang obat
dan lain-lain. Semua informan mengatakan bahwa petugas kesehatan yang ada di
ruang BP, KIA, gizi, kartu, ruang obat dan lain-lain orangnya baik-baik semua,
karena pasien merasa cepat dilayani pada waktu jam pelayanan.
Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Ernawati (2004) di Rumah Sakit TK. II
Pelamonia Makassar menyatakan bahwa empathy petugas kesehatan berada pada kategori
baik, adapun faktor yang menunjang hal tersebut yaitu, petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan memperlakukan pasien dengan baik, memahami kebutuhan
pasien serta mendengarkan keluhan pasien. Empathy yang ditunjukkan oleh petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan bukan berarti bahwa baik itu perhatian,
keramahan maupun sikap petugas disetujui oleh lingkungannya termasuk pasien dan
keluarganya, bahkan mungkin saja sebaliknya menimbulkan perasaan tertentu yang
kurang menyenangkan.
Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Karman (2002) menyatakan
bahwa ternyata ada pula sikap petugas kesehatan yang baik tetapi menimbulkan
persepsi yang kurang baik terhadap pasien, sebab dianggap bahwa sikap petugas
tersebut hanya basa-basi, dan dilakukan karena faktor kewajiban semata dan
tidak dilakukan dengan penuh perhatian terhadap pasien.
Kepuasan
seseorang terhadap pelayanan yang dipengaruhi oleh hubungan komunikasi serta
respon seseorang terhadap pelayanan tersebut. Oleh sebab itu untuk menimbulkan persepsi
yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Hal ini sesuai dengan fungsi petugas
kesehatan untuk menciptakan hubungan kerja sama yang baik dengan pasien dan
keluarganya.
Tidak
semua informan menyatakan empathy petugas kesehatan baik, baik tidaknya pelayanan
kesehatan ditentukan pula oleh sikap petugas saat melayani pasien. Pelayanan
yang tidak baik dapat disebabkan oleh petugas kesehatan yang bermuka cemberut
betapapun cekatannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Surahmawati (2004) di Puskesmas Mangasa Makassar menilai bahwa kebanyakan
petugas kesehatan bersikap angkuh dan bermuka cemberut ketika melayani pasien,
selain itu ada juga beberapa petugas yang sering berbicara kasar ketika
melayani pasien, petugas sering berbicara kasar ketika melayani pasien,
sehingga pasien merasa kurang puas dengan pelayanan yang diberikan.
Hal
ini menunjukkan bahwa empathy yang baik akan menghasilkan mutu pelayanan yang
baik pula dan sebaliknya bila empathy kurang akan mengakibatkan mutu pelayanan
yang kurang pula oleh karena itu untuk memberikan mutu pelayanan yang baik,
maka diperlukan empathy petugas yang
baik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
Secara
keseluruhan persepsi masyarakat terhadap kemampupahaman/empathy
petugas kesehatan ada umumnya baik, walaupun masih ada sebagian
kecil informan yang menyatakan bahwa empathy petugas kesehatan kurang baik.
Menurut
Foster (1999) menyatakan bahwa sekitar 95% konsumen yang tidak puas, memilih
untuk tidak melakukan pengaduan tetapi sebagian besar cukup menghentikan
pembeliannya dan satu orang konsumen yang merasakan tidak puas akan
menceritakan pengalamannya pada sembilan orang. Puskesmas sebagai tempat
pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan yang baik, apabila mereka sakit
akan kembali berkunjung ke puskesmas yang sama. Apabila pasien mempunyai
tingkat harapan yang tinggi dan harapan ini dapat dipenuhi, maka pasien
tersebut akan merasa puas terhadap pelayanan yang diharapka dan selanjutnya
akan meningkatkan persepsi terhadap pasien.
Menurut
Azwar (1996) bahwa mutu ditinjau dari pengguna jasa pelayanan kesehatan lebih
terkait pada ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien serta keramahtamahan
pada pasien yang kesemuanya itu apabila berhasil akan menimbulkan rasa puas
terhadap pelayanan kesehatan yang diselenggarakannya.
5.
Persepsi
Masyarakat Terhadap Tangible yang Dimiliki Oleh Puskesmas
Kemampuan
suatu perusahaan dalam menunjukkan aksistersinya kepada pihak eksternal, dimana
penamiplan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata pelayanan yang diberikan oleh pemberi
jasa yaitu meliputi fasilitas fisik (gedung), perlengkapan dan peralatan yang
digunakan (teknologi), dan penampilan pegawai serta kebersihan dan kenyamanan
ruangan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diperoleh bahwa
tangible dalam kategori kurang baik dan
hanya sebagian kecil informan yang menyatakan baik, walaupun demikian informan
menyadari bahwa tangible yang dimiliki oleh puskesmas tidak sebaik dengan instansi
kesehatan lainnya seperti rumah sakit dan dokter praktek.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
berpenampilan rapih dan bersih, peralatan medis yang digunakan petugas dalam
memeriksa masih dalam keadaan baik, ruang tunggu tidak bersih dan kurang nyaman
di ruang tunggu dan ruang periksa terasa sempit . Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Istiawati (2002) di Rumah Sakit Umum Kendari dimana mutu
pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek wujud atau penampilan fisik pada
umumnya sudah tergolong baik. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Siti
Rahmat (2002) di Puskesmas Plus Daya Makassar dimana mutu pelayanan dari aspek
tangible secara keseluruhan tergolong dalam kategori baik.
Hal
ini menunjukkan bahwa fasilitas yang memadai seperti ruangan yang nyaman,
kebersihan dan kerapihan turut berpengaruh pada kualitas pelayanan prima,
mengenai hal tersebut menunjukkan bahwa fasilitas yang baik menyebabkan pasien
sering datang ke puskesmas. Hasil observasi menunjukkan bahwa kondisi fasilitas
umum di puskesmas kurang baik, misalnya
di ruang tunggu masih terasa kurang nyaman dan kurang bersih , lingkungan di
puskesmas banyak sampah yang berserakan, pagar puskesmas belum ada, WC yang ada
di puskesmas kurang bersih, ruang periksa terasa sempit, alat-alat yang
digunakan masih dalam keadaan baik namun kurang lengkap.
Walaupun
demikian ada juga informan yang menyatakan bahwa mereka puas dengan apa yang
dimiliki oleh puskesmas, walaupun fasilitas yang ada di puskesmas belum
lengkap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri
Ardianti (2004) menyatakan bahwa walaupun sarana belum lengkap akan tetapi
mereka merasa cukup puas disebabkan adanya faktor need/kebutuhan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang menyebabkan kepuasan bukanlah suatu tujuan
utama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurul Iman (2003) tentang kepuasan pasien
menyatakan tangible sangat penting, dan
tidak ada responden yang menyatakan tidak penting. Hal ini menunjukkan
tangible merupakan suatu hal yang
penting yang mendukung suatu pelayanan yang meliputi, fasilitas yang memadai,
kebersihan dan kenyamanan ruangan serta peralatan dan perlengkapan.
Masih
banyak variasi nilai dari masing-masing poin, hal ini disebabkan oleh banyak
faktor diantaranya adalah ukuran masing-masing individu tentang
perwujudan/bukti fisik antara yang satu dengan yang lainnya. Spring et al
(1996) dalam Sri Ardianti menyatakan bahwaa perasaan puas seseorang timbul
ketika mereka membandingkan persepsi mereka terhadap jasa pelayanan yang mereka
inginkan. Oleh karena itu masih ada keinginan-keinginan tertentu yang belum
terpenuhi, misalnya fasilitas-fasilitas yang mendukung pelayanan.
Berdasarkan
hasil wawancara, adapun fasilitas yang seharusnya dimiliki oleh puskesmas pada
saat ini, untuk mendukung pelayanan yang diberikan adalah perlunya penambahan
alat-alat medis, penyediaan ruang tunggu yang nyaman dan bersih, penjaga
keamanan di puskesmas.
Secara
keseluruhan persepsi masyarakat terhadap tangible yang dimiliki oleh puskesmas
berada pada katergori kurang baik, misalnya kebersihan dan kenyamanan di ruang
tunggu kurang nyaman dan bersih, kebersihan puskesmas masih kurang, petugas
keamanan belum ada di puskesmas, WC yang ada di puskesmas kurang bersih, pagar
puskesmas belum ada namun peralatan medis sudah baik tetapi alat-alat yang ada
di puskesmas kurang lengkap, petugas kesehatan bersih dan rapi.
Hubungan tangible dengan kepuasan konsumen adalah
suatu bentuk jasa tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium dan tidak bisa diraba
maka aspek wujud fisik menjadi penting sebagai ukuran dari pelayanan. Pelanggan
akan menggunakan indera penglihatan untuk menilai suatu kulitas pelayanan.
Menurut Zeithaml. et al. 1985 (Aviliani dan Wilfridus, 1997: 10) wujud fisik (tangible) adalah kebutuhan pelanggan
yang berfokus pada fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan, tersedia tempat
parkir, kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan,
sarana komunikasi serta penampilan karyawan. Bukti fisik yang baik akan mempengaruhi
persepsi pelanggan.
Pada
saat yang bersamaan aspek ini juga merupakan salah satu sumber yang
mempengaruhi harapan pelanggan. Karena dengan bukti fisik yang baik maka
harapan konsumen menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu merupakan hal yang penting
bagi perusahaan untuk mengetahui seberapa jauh aspek wujud fisik yang paling
tepat, yaitu masih memberikan impresi positif terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan tetapi tidak menyebabkan harapan pelanggan yang terlalu tinggi
sehingga dapat memenuhi Peralatan yang modern dan Fasilitas yang menarik kebutuhan konsumen dan memberikan kepuasan
kepada konsumen. Atribut-atribut yang ada dalam dimensi ini adalah (Parasuraman
, 2005 ) dalam Ramdan (2008) adalah peralatan
yang modern dan fasilitas yang menarik.
Hubungan wujud fisik dengan
kepuasan konsumen adalah wujud fisik mempunyai pengaruh positif terhadap
kepuasan konsumen. Semakin baik persepsi konsumen terhadap wujud fisik maka
kepuasan konsumen juga akan semakin tinggi. Dan jika persepsi konsumen terhadap
wujud fisik buruk maka kepuasan konsumen juga akan semakin rendah. Penelitian
yang dilakukan oleh Hasan (2006) menyebutkan bahwa variable compliance, assurance, tangible,
reliability, responsiveness, empathy berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan pelanggan.
6.
Pelayanan
Kesehatan Terbaik Yang Pernah Diperoleh Masyarakat Di Puskesmas
Kepuasan
pelanggan adalah tanggapan pelanggan
terhadap kesesuaian tingkat kepentingan atau harapan pelanggan sebelum
mereka menerima jasa pelayanan dengan sesudah pelayanan mereka terima. Kepuasan
pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat disimpulkan sebagai selisih kinerja
institusi pelayanan kesehatan dengan harapan pelanggan.
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan bahwa
pelayanan yang terbaik pasien rasakan hampir semua informan mengatakan bahwa
pada saat waktu pelayanan , petugas
kesehatannya ramah dan baik, petugas kesehatan selalu memberi semangat kepada
pasien dan di puskesmas terasa tenang.
7.
Pelayanan
Kesehatan Yang Terburuk Yang Pernah Diperoleh Masyarakat Di Puskesmas
Produk
yang dihasilkan sebuah institusi pelayanan kesehatan adalah hasil karya seluruh
karyawan dari berbagai unit kerja. Atas dasar pengertian ini, kebiasaan dan
perilaku staf, termasuk pola komunikasi dan hasil kerja seluruh staf institusi,
harus diubah melalui sebuah proses belajar, apabila budaya kerja sebuah
instiusi pelayanan kesehatan ingin diubah atau dikembangkan kea rah yang lebih
kondusif untuk peningkatan mutu produk dan pelayanan kesehatan, norma dan tata
nilai.
Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dengan informan mengenai pelayanan yang terburuk bahwa
hamper semua informan mengatakan bahwa
pasien tidak pernah mendapatkan pelayanan terburuk yang ada di puskesmas ,
karena informan mengatakan petugas kesehatan yang ada di puskesmas orangnya
baik, ramah, selalu melayani pasien dengan baik dan pasien tidak pernah merasa
dikecewakan. Namun ada satu informan menyatakan bahwa pustu yang ada di
puskesmas pelayanannya buruk, karena petugas kesehatan lebih mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan pasien.
8.
Harapan
Pasien Untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Di Puskesmas
Mutu merupakan
proses perbaikan yang berkelanjutan. Mutu juga berfokus pada pelanggan dan
berorientasi pada pelanggan. Mutu merupakan proses yang berkelanjutan, dinamis
dan melliputi seluruh organisasi. Setiap orang bertanggung jawab atas kegiatan
dan outcome mutu milik mereka masing-masing mutu merupakan tanggung jawab
“departemen mutu”. Dengan semakin berkembangnya teknologi di bidang komunikasi
dan transpor4tasi, pengguna jasa pelayanan kesehatan akan semakin mudah
mengakses pelayanan kesehatan. Dengan perubahan ini , standar kepuasan
pelanggan juga akan mengalami perubahan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan mengatakan bahwa harapan kedepannya yang perlu
diperbaharui puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan adalah
alat-alat medis yang ada pada saat ini kurang lengkap, pengadaan pagar
puskesmas, ruangan periksa dan lainnya diperluas, kebersihan lingkungan harus ditingkatkan,
obat-obatan perlu ditambah, pengadaan rawat inap, penghijauan perlu ditambah
agar tidak panas, penambahan tenaga kesehatan, dan petugas kesehatan agar
kiranya tepat waktu datang ke puskesmas. Woodside et al (1989) mendefinisikan
kepuasan pelanggan sebagai suatu bentuk khusus dari sikap konsumen yang
merupakan fenomena setelah konsumen tersebut melakukan pembelian yang
mencerminkan sejauhmana seorang pelanggan menyukai atau tidak menyukai
pelayanan yang diberikan. Kepuasan konsumen merupakan perasaan senang atau
kecewa yang dihasilkan dari persepsi kinerja produk atau jasa terhadap harapan
yang mereka miliki. Kepuasan pelanggan selalu melekat atau menjadi
karakteristik produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan
pelanggan, harapan tersebut antara lain tentang harga, biaya, kenyamanan,
kemudahan, keramahan, pelayanan yang bermanfaat dan lain sebagainya. Kepuasan
pelanggan merupakan evaluasi purna beli di mana alternatif yang dipilih
sekurang-kurangnya memberikan hasil yang sama atau melampaui harapan pelanggan,
sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi
harapan pelanggan.
BAB
VI
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan responsiveness petugas
kesehatan pada umumnya baik seperti pasien merasa cepat ditanggapi oleh petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, walaupun ada sebagian kecil
informan yang menyatakan kurang baik seperti petugas kesehatan tidak memberi prosedur
pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas.
Persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan reliability petugas kesehatan pada umumnya baik seperti
petugas kesehatan sering menyampaikan masalah kesehatan sehubungan dengan
masalah kesehatan yang dialami oleh pasien, walaupun ada sebagian kecil
informan yang menyatakan kurang baik seperti petugas kesehatan tidak pernah
memberi informasi masalah sehubungan kesehatan pasien, pasien tidak tahu
masalah ketelitian petugas kesehatan dalam bekerja, petugas kesehatan tidak
mengajar pasien tentang prosedur pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas dan
petugas kesehatan tidak tepat waktu dalam melayani pasien.
Persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan assurance petugas kesehatan
bahwa pada umumnya baik seperti petugas kesehatan yang ada di Puskesmas
Moncobalang sopan santun terhadap pasiennya, walaupun ada sebagian kecil
informan menyatakan kurang baik seperti pasien merasa tidak aman atau merasa
terganggu dengan adanya binatang-binatang yang masuk ke halaman puskesmas,
petugas kesehatan ada yang cuek dalam melayani pasien.
Persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan empathy petugas
kesehatan pada umumnya baik seperti petugas kesehatan orangnya baik, ramah,
simpatik dan bersahabat, walaupun ada sebagian kecil informan menyatakan kurang
baik seperti petugas kesehatan tidak memberi semangat atau tidak memotivasi
pasien untuk mentaati anjuran dokter dalam minum obat.
Persepsi
masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan tangible yang dimiliki
oleh puskesmas pada umumnya kurang baik seperti kebersihan dan kenyamanan ruang
tunggu tidak bersih dan tidak nyaman, ruang periksa terasa sempit, ruang tunggu
panas, petugas kesehatan biasanya kalau di dalam ruangan memakai sandal,
alat-alat medis yang ada di puskesmas tidak lengkap.
Pelayanan
kesehatan terbaik yang pernah diperoleh dari Puskesmas yaitu petugas
kesehatannya ramah dan selalu memberi semangat kepada pasien, walaupun ada
sebagian kecil informan menyatakan bahwa tidak ada pelayanan yang terbaik dari
puskesmas.
Pelayanan
kesehatan terburuk yang pernah diperoleh di puskesmas informan mengatakan tidak
pernah mendapatkan pelayanan yang buruk. Malah sebaliknya pasien tidak pernah
merasa dikecewakan, namun ada juga informan mengatakan Pustu dari Puskesmas
Moncobalang kurang baik seperti petugas kesehatan di pustu lebih mementingkan
kepentingan pribadi dari pada kepentingan pasien.
Yang perlu
diperbaharui oleh pihak puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
bahwa alat-alat medis yang ada di puskesmas masih kurang, pagar puskesmas belum
ada, ruangan yang ada di puskesmas perlu ditambah, kebersihan lingkungan
puskesmas harus dijaga dengan baik, obat-obatan perlu ditambah, pengadaan rawat
inap, penghijauan harus ditambah agar tidak panas, penambahan tenaga kesehatan
pustu puskesmas Moncobalang khususnya petugas kesehatan harus lebih baik, dan
petugas kesehatan tepat waktu dalam melayani pasien.
B.
SARAN
1. Responsiveness
Petugas kesehatan
harusnya menjelaskan kepada semua pasien tentang prosedur pelayanan kesehatan
yang ada di puskesmas, agar pasien mengerti apa yang dimaksud dengan prosedur
pelayanan kesehatan siapkan
2. Reliability
Petugas
kesehatan harusnya menyampaikan masalah kesehatan sehubungan dengan masalah
kesehatan yang pasien alami, pasien harusnya memberi/mengajar kepada semua
pasien tentang prosedur pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas dan petugas
kesehatan harusnya lebih tepat waktu
datang di puskesmas sesuai dengan jam pelayanan yang ada di puskesmas.
3. Assurance
Puskesmas harus
menjamin keamanan yang ada di puskesmas pada saat waktu jam pelayanan
berlangsung seperti penjaga keamanan di puskesmas harus ada seperti bsatpam,
petugas kesehatan harusnya lebih ramah kepada pasiennya, dalam bidang kesehatan
petugas kesehatan hendaknya lebih berpengetahuan luas dalam ilmu kesehatan.
4. Emphaty
Harusnya petugas
kesehatan memberi motivasi kepada pasien khususnya dalam meminum obat agar
pasien merasa semangat untuk meminum obat.
5. Tangible
Kebersihan
puskesmas sangat perlu ditingkatkan, penghijauan perlu ditambah agar pasien tidak merasa panas saat menunggu,
sampah yang ada di lingkungan puskesmas harusnya tiap hari dibersihkan seperti
pembungkus obat, daun-daun yang berserakan, rumput-rumput yang sudah panjang
hendaknya dibersihkan, pengadaan pagar perlu ada agar binatang-binatang seperti
kambing tidak masuk ke lingkungan puskesmas, ruang periksa perlu diperluas agar
pasien tidak merasa panas, pengadaan tempat parkir di puskesmas, WC harusnya
dibersihkan, alat-alat yang ada di puskesmas perlu ditambah.
Perlunya
mempertahankan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak puskesmas kepada
pasien dalam hal responsiveness, reliability, assurance, emphaty, dan tangible
untuk menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke Puskesmas Moncobalang. Di
puskesmas sebaiknya ada kotak saran untuk menampung keluhan-keluhan pasien
mengenai pelayanan, baik itu mengenai responsiveness, reliability, assurance,
emphaty, dan tangible , agar pihak puskesmas sebagai instansi pelayanan
kesehatan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, sehingga merasa puas dengan memanfaatkan pelayanan
puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianty,
F, 2008. Analisis Kualitatif. Makassar.
Anonim,
2011. Bab II Tinjauan Pustaka. Diakses dari
repository.usu.ac.id/bitstream/12345678/19449/5/chapter % 2011.pdf. diakses
pada tanggal 14 februari 2012.
Alamsyah,
D, 2011. Manajemen Pelayanan Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Al-Assaf,
2009. Mutu Pelayanan Kesehatan Perspektif Internasional. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Alimuddin,
K. 2005. Persepsi Masyarakat Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan di Puskemas
Tamalanrea Kota Makassar.
Azwar,
A, 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi III. Binarupa Aksara, Jakarta.
Chandra,
B, 2008. Metodologi Penelitian. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Departemen
Agama, 2009. AL-Qur’an Dan Terjemahan. Jakarta
Fakultas
Kesehatan Masyarakat UMI, 2010. Panduan Penulisan Proposal Penelitian Dan
Skripsi. Makassar.
Habib
Rahmat, R.Hapsara, 2009. Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Gadjah Mada Press.
Hertiana,
S, 2009. Analisis harapan dan kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan
dengan metode IPA (Importance Performance Analysis) Di Puskesmas Kartasura II.
Maramis,
F. Willy, 2009. Ilmu dan Prilaku Pelayanan Kesehatan. Airlangga University
Press. Surabaya.
Muninjaya,
Gde, 2011. Manajemen Mutu Pelayanan. EGC. Jakarta.
Notoatmodjo,
S, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. PT Rineka Cipto. Yogyakarta.
Profil Puskesmas
Moncobalang, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
2011.
Sugiyono,
2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&O. Alfabeta.
Bandung.
Triatmojo,
Y. 2006. Mengukur Kepuasaan Pelanggan . Diakses dari triatmojo.wordpress.com/2006/09/24/mengukur-kepuasan
pelanggan/. Diakses pada tanggal 14 februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar